Belantara ini seperti memiliki
kutukan. Rojik adalah orang ketiga yang dijemput ajal. Mayatnya terbujur kaku
dihadapan kami. Seluruh tubuhnya menguning. Persis seperti dua teman kami
sebelumnya. Sekarang yang tersisa hanya Budir dan aku. Dan hidup kami tak lebih
dari undian mengerikan. Menduga-duga giliran siapa yang akan mati.
Tak ada siapa pun yang bisa
dimintai pertolongan. Jarak antara pemukiman warga lokal dan pondok kami hampir
10 kilometer. Tak mungkin kami berdua membopong tubuh Rojik naik turun gunung
hanya untuk menguburkannya dipemukiman sana. Kami menguburkan Rojik tepat di
samping pondok.
Setelah penguburan Rojik, kami
duduk di teras pondok. Sore ini mulai gerimis. Budir menyalakan rokok. Ia
tampak gelisah. “Aku sudah tak tahan lagi berada di tempat busuk ini,” katanya.
Jari tempat rokoknya terselip gemetar.
“Bagaimana dengan kontrak kita yang
tinggal setahun lagi? Kan tanggung...”
“Persetan dengan kontrak itu. Kalau
kita tetap bertahan, kita akan mati konyol di sini. Kau tak lihat Rojik,
setelah seharian meriang, besok paginya ia kejang-kejang. Dan sore ini kita
sudah menguburkannya!” kata Budir.
“Besok pagi-pagi aku akan pulang.
Terserah kau mau tetap tinggal atau pulang bersamaku. Kalau aku lebih memilih
hidup daripada kontrak itu!” ujar Budir yang kemudian berdiri dan masuk ke
dalam pondok.
Sebenarnya aku pun kecut juga.
Bagaimana tidak? Satu persatu anggota tim kami meninggal dunia. Dalam satu
tahun, ada saja yang mati. Namun, apa mau dikata. Kalau mengikuti Budir yang
ingin pulang berarti pekerjaan kami selama tiga tahun di sini sia-sia belaka.
Padahal kontraknya tinggal satu tahun lagi.
Dulu sebagai orang yang hanya
memiliki Ijazah SLTA dan tanpa keterampilan apa-apa, aku langsung menyetujui
pekerjaan yang ditawarkan sebuah perusahaan perkebunan sawit. Mereka ingin
membuka perkebunan baru. Pekerjaannya cukup mudah. Dalam kontrak disebutkan
bahwa selama empat tahun tugas kami hanya memasang patok batas lahan yang akan
dibuka. Selain itu kami juga harus memberi tanda silang pohon-pohon berdiameter
tertentu dikawasan lahan tersebut.
Setelah pekerjaan itu selesai,
lahan akan dibuka. Selama pembukaan lahan, kami difasilitasi oleh perusahaan
mengikuti training di luar negeri. Saat perkebunan sawit siap, training kami
juga selesai. Dan kami akan masuk dalam jajaran manajemen perkebunan baru itu.
Setelah meneken kontrak, aku bersama
empat orang lainnya diterbangkan ke Kalimantan dan langsung diantar ke
pedalaman Meratus. Namun, baru satu tahun berada di Meratus, Mamat, salah
seorang anggota tim, mendadak sakit. Awalnya meriang biasa, tiga hari kemudian
Mamat meninggal dunia. Tahun kedua Kharis juga tewas dalam keadaan menderita.
Dan pada akhir ketiga ini Rojik yang kami kuburkan. Sekarang hanya tinggal
berdua. Tahun keempat hanya tinggal beberapa hari lagi. Apakah ini berarti yang
akan mati hanya antara aku dan Budir? Ini menakutkan sekali.
***
Saat aku bangun, aku tak mendapati
Budir. Aku memangil-manggil namanya. Tak ada jawaban. Kuperhatikan sekeliling
baju dan tas Budir jugabtidak ada. Ternyata lelaki itu tak membuang waktu.
Mungkin pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan pondok. Sepeninggal Budir tak
mungkin aku menyelesaikan pekerjaan ini sendirian. Dan lebih tak mungkin lagi
aku tinggal sendiri dibelantara ini! Tinggal aku satu-satunya manusia yang akan
mati. Berarti aku tak punya pilihan selain meninggalkan pondok ini.
Aku mengemasi barang-barang dan
segera meninggalkan pondok. Langkahku cepat menuruni teras dan berjalan ke arah
dusun terdekat. Aku berharap bisa menyusul Budir. Kemungkinan besar, lelaki itu
pasti akan istirahat di sana sebelum mencari orang yang bisa mengantarkannya ke
kota kabupaten.
Perlu waktu satu jam lebih untuk
sampai ke dusun. Pagi sudah mulai menaik. Bajuku basah oleh peluh. Baru saja
memasuki dusun, aku langsung disambut oleh serombongan orang. Mereka setengah
berlari mendekatiku.
“Lelaki yang penampilan mirip Anda
itu teman Anda?” tanya salah seorang dari mereka begitu sudah di hadapanku.
“Ia punya tas yang seperti ini?”
aku bertanya balik sambil menunjukkan ranselku pada mereka.
Mereka mengangguk. “Berarti Budir
telah sampai di dusun ini,” pikirku.
“Di mana dia?”
“Di teras rumah tetua, meninggal
dunia.”
***
Tak kusangka Budir yang kemaren
sore masih segar bugar sekarang sudah kaku menjadi mayat. Mulutnya berbusa.
Matanya tak bisa terpejam. Seorang lelaki paruh baya duduk bersimpuh disamping
mayat Budir. Lekat matanya memandang wajah Budir yang menguning.
“Tetua, ini teman si mayit,” salah
seorang dari rombongan yang mengantarku memberitahu lelaki itu.
Tetua memandangku yang berdiri
terpaku. “Roh Meratus...,” katanya seperti mendesis. Aku bergidik ngeri. Ia
kemudian berdiri perlahan. Mendekatiku yang masih terpaku. Entah kenapa, aku
terduduk manakala mata kami saling bertumbuk.
“Kau salah satu dari orang-orang
yang kabarnya memberi tanda silang pohon-pohon besar di hutan sana?” tanya
tetua.
“Saya satu-satunya yang
tersisa...,” kataku masih menunduk.
“Anak muda, aku tak tahu apa maksud
kalian bertahun-tahun dibelantara sana. Namun, melihat keadaan temanmu yang meninggal
ini, tampaknya Meratus merasa terganggu,” ujar tetua.
Aku merasa ada hawa dingin
menyelusup tubuhku. Tiba-tiba aku mengigil. Perkataan tetua tak lagi jelas
terdengar. Penglihatanku mulai buram. Sesaat kemudian, aku merasa kepanasan.
Dahiku mulai berkeringat. Baru dua-tiga buliran keringat, hawa dingin menyergap
lagi. Beberapa detik kemudian, aku kembali diserang hawa panas. Dingin, panas,
dingin lagi, panas lagi, keduanya kurasakan bergantian secara cepat. Entah berapa
lama aku dalam keadaan seperti itu.
Tiba-tiba tubuhku terguncang. Dan
zepp!...”Anak muda!, sadarlah!” ternyata tangan tetua menggoyang-goyang bahuku.
Penglihatanku mulai terang. “Kau juga sudah terkena murka Roh Meratus!” kata
sang tetua.
Deg! Jantungku terasa terhenti.
“A...apakah aku juga akan mati?” aku bertanya terbata.
“Jika beruntung kau masih punya
waktu beberapa jam lagi sebelum nasibmu sama dengan temanmu itu,” katanya
sambil memandang mayat Budir yang masih di teras.
Sang tetua memerintahkan beberapa
orang untuk mengurus mayat Budir. Ia kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dan
keluar dengan menyandang butah(1).
“Kita harus mencari tadung(2) yang berkeliaran searah dengan
matahari terbit, hanya itu satu-satunya peluangmu untuk selamat.”
Aku segera mengikuti langkahnya
dengan lunglai.
***
Kondisiku makin lama makin parah.
Aku tak tahu berapa lama kami mencari dan bagaimana tetua bisa menangkap ular
tadung sebesar pergelangan tangan itu hidup-hidup di bawah sebatang pohon
meranti yang tak bisa dipeluk oleh satu orang dewasa, aku terbaring tak
berdaya. Suara air pancur sayup terdengar. Samar kulihat tetua mencengkram
leher ular dengan tangan kanannya. Ia kemudian mendekatiku dan meletakkan butah tak jauh dari tempatku terbaring.
Masih memegang ular, tangan kirinya
mengambil panci dari dalam butah. Ia juga menyalakan api. Semuanya dilakukan
dengan cepat. Api menyala, ia mengambil air dari pancur dengan panci dan
langsung merebusnya.
Api yang besar membuat air cepat
mendidih. Saat air menggelegak di dalam panci, tetua berkata pelan, “Ular,
izinkan aku merebusmu hidup-hidup. Harap kau himung(3) karena akan dijadikan tatamba(4).”
Selesai berujar tetua langsung memasukkan
ular itu dalam air yang sedang mendidih. Di dalam panci ular menggeliat-geliat
berontak. Namun, hanya sebentar, sang ular kemudian ikut menggelegak bersama
air. Dalam pandanganku yang berkunang-kunang, badan ular itu membesar dan
memerah jambu di dalam panci. Ular itu matang!
“Minumlah ini kalau kau ingin
selamat!” perintah tetua tegas sambil menyodorkan air seduhan ular tadi dengan
sendok kayu.
Tanpa memedulikan rasa jijik,
segera sendok demi sendok ku reguk. Pada sendok keempat, ada hawa hangat
menjalar dalam tubuhku. Keringat mulai mengucur. Aku merasa ringan. Sendok di
tangan tetua langsung kuambil. Segera aku menyeduh dan meminum sendiri, kali
ini tak kuhitung lagi berapa sendok yang kureguk.
***
Kami kembali berjalan pulang.
Kondisiku sudah sepenuhnya normal. Tetua melangkah di depanku. Tak kusangka,
dalam keadaan kritis ternyata kami telah sangat jauh memasuki belantara. Aku
memperhatikan pohon-pohon besar yang kami lewati. Sinar matahari bahkan hampir
tak bisa menembus ke bawah.
Aku merasa asing di tempat ini.
Pohon-pohon yang belumut itu, sulur-sulur yang bergantungan, semak-semak yang
rimbun itu. Oh ... ternyata belantara ini adalah tempat menakjubkan. Bayangkan,
dilumut batang pohon itu udang-udang kecil berloncatan lincah. Belum pernah aku
melihat udang hidup di batang pohon!
“Kau tahu anak muda, tempat ini
merasa terancam dengan keberadaan...” tetua menghentikan langkahnya dan
mengambil sesuatu dalam butah. “Roh Meratus meniupkan wisa(5) ke tubuh kalian, sayang kawan-kawanmu yang lain terlambat,”
sambungnya kemudian melemparkan gulungan kertas yang diambil dari butah. Sigap kutangkap gulungan itu.
“Itu peta yang kuambil dari
ranselmu. Ternyata kalian memasang patok-patok dan memberi tanda pohon-pohon
besar untuk ditebang. Dan perlu kau ketahui anak muda, tempat ini juga termasuk
wilayah yang akan kalian pasangi patok-patok itu,” katanya dingin.
Perlahan kubuka gulungan peta
ditanganku. Dari peta terlihat jelas, pekerjaan kami tinggal sedikit lagi. Jika
saja semuanya lancar, maka kami akan sampai di tempat ini dan selesailah
kontrak kerja kami. Dalam waktu yang singkat, mungkin alat-alat berat akan
didatangkan! Pohon-pohon ini, sulur-sulur ini, lumut-lumut ini, udang-udang
ini...akan bagaimana?
“Tetua, izinkan aku tinggal disini
dan bersama kaummu menjaga tempat ini...” Akhirnya setelah lama hanya diam, aku
menatap mata tetua mantap.
Keterangan
(1) Butah
: sejenis bakul yang biasa digunakan oleh laki-laki
(2)
Tadung
: saalah satu ular berbisa, termasuk jenis kobra.
(3)
Himung
: senang
(4)
Tatamba
: penyembuh
(5) Wisa
: hawa beracun, biasanya terdapat di pedalaman belantara. Masyarakat Kalimantan
juga menyebutnya penyakit kuning. Ada yang menganggap penyakit ini adalah
malaria.
*Ditulis oleh : Zaidinoor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar