Dakwah
Aksara Perbaiki Generasi Muda
Oleh
: Rizka Alifah*
Sekitar ratusan tahun yang lalu.
Indonesia mengalami metamorphosis dari zaman praaksara menuju zaman aksara.
Setelah sebelumnya manusia purba terlebih dahulu mengenal alat untuk
berkomonikasi yang sekarang disebut sebagai bahasa.
Berawal dari bahasa isyarat hingga
berkembang menjadi bahasa yang beraneka ragam, maka hal demikian menyebabkan
berbagai perbedaan tutur kata yang tak bisa dipahami secara bersama. Beranjak
dari realitas tersebut, perkembangan itu berlanjut hingga ditemukan cara
penyampaian bahasa dan aksara melalui media.
Di dalangi oleh kaum Barat dan merambah
ke seluruh dunia melalui mediator globalisasi, perkembangan teknologi
komonunikasi membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Diantaranya adalah
dampak positif, yaitu sebagai sarana penyebaran informasi secara cepat dan
mudah tanpa adanya batas dan penghalang.
Namun disisi lain, perkembangan
teknologi tanpa direncana juga memboncengi berbagai dampak negatif. Dampak negatif
ini paling tampak mendominasi para pengguna teknologi, baik dari golongan muda
hingga golongan tua yang kurang mengutamakan segi applied, tetapi lebih ke
segi style. Amati fenomena pada hari
ini. Bandingkan kualitas dan kuantitas para pemikir, cendekia, dan kritikus
dengan berbagai karyanya pada hari kemarin.
Degradasi
Bahasa
Dalam sosiologi, dikenal jenis perubahan
dengan alur menyerupai siklus. Apabila diterapkan pada konsep perkembangan
bahasa dan aksara, jawabannya adalah tepat. Dibuktikan dengan kenyataan yang
menimpa generasi muda zaman sekarang yang kembali menggunakan bahasa isyarat,
sehingga cenderung praaksara tapi dengan model yang berbeda.
Sama-sama menggunakan bahasa isyarat
dalam mengungkapkan sebuah informasi hanya saja perbedaannya jika dahulu
komunikan mempraktikkan bahasa isyarat dengan gerakan anggota badan, maka
sekarang bahasa isyarat tersebut disederhanakan hanya dengan gerakan jempol
pada layar smartphone.
Sementara itu dalam bidang aksara,
sama-sama tidak menggunakan tulisan sebagai medianya. Perbedaannya jika dahulu
komunikan tidak menggunakan tulisan karena memang belum mengenalnya, maka
sekarang mereka tidak menulis karena memang malas atau tidak mau pusing-pusing
memikirkan kaidah dan bobot tulisannya.
Akibatnya, kemampuan berbahasa dan
menulis para generasi sekarang sedikit demi sedikit telah tererosi oleh
canggihnya teknologi. Indikator utamanya sederhana, generasi sekarang
dimanjakan oleh berbagai kemudahan yang serba instan dalam bidang komunikasi,
sehingga kurang melatih atau bahkan melemahkan logika dan mental.
Contoh kecilnya, ketika para remaja masa
lalu jatuh cinta, mereka akan menyampaikannya melalui sebuah surat. Mau tidak
mau mereka harus menggunakan bahasa yang baik dan indah agar bisa diterima.
Kalaupun masih belum diterima atau justru sebaliknya yaitu ada balasan surat,
maka hal ini akan mendorong mereka untuk menulis lebih banyak surat dan
memperbaikinya.
Bandingkan dengan remaja masa kini dalam
keadaan yang sama yaitu saat jatuh cinta, tidak lain cara yang digunakan kebanyakan
dari mereka untuk mengungkapkan perasaannya melalui dunia maya, cukup dengan
pesan singkat berisi rayuan-rayuan dari telepon, Facebook, Whatsapp dan banyak
lainnya, tapi belum tentu mereka berani mengungkapkannya secara langsung di
hadapan sang pujaan hati.
Pendidikan
Menulis
Kenyataan memprihatinkan tersebut
membuat penulis sadar akan pentingnya dakwah aksara, yaitu jihad demi
mengembalikan arah panah alur gelombang pada siklus perubahan sesuai pola
sebelumnya yang pernah berada di puncak serta berusaha untuk mempertahankannya.
Dengan kata lain, berusaha dan berjuang mengembalikan budaya menulis dikalangan
masyarakat serta melestarikannya. Namun dengan tetap tidak meninggalkan
kemajuan teknologi selama masih dalam batas wajar dan memiliki substansi
kemanfaatan.
Dakwah akasara lebih diutamakan daripada
dakwah tulisan, dikarenakan menulis adalah bentuk penyampaian pendapat yang
paling mudah, murah, dan efektif. Memang dakwah lisan seperti yang diterapkan
oleh para ulama juga penting. Namun mereka belum disebut ulama jika belum punya
karya, disamping dakwah lisan mereka juga tetap menulis kitab dan karya-karya
besar pada masanya. Hal itu dilakukan karena mereka sadar bahwa dakwah dengan
liasan saja belumlah efektif.
Dengan demikian, persentase informasi
yang dapat ditangkap oleh pembaca jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan
informasi yang dapat ditangkap oleh audience. Begitu pula bagi pembicara hebat
yang hanya akan dikenang dalam kurun waktu beberapa tahun, berbeda dengan
penulis karya besar yang akan diingat berabad-abad.
Perlunya meregenerasi para ilmuan muda
beserta karya-karya besarnya, dengan mengembalikan hak-hak mereka memperoleh
pendidikan menulis. Dalam hal ini, semua pihak diharapkan mampu berkontribusi
secara maksimal, semisal dari pemerintah dengan menggalakkan susidi buku serta
memberikan apresiasi besar kepada para penulis berprestasi. Bukan menyesatkan
mereka dalam fananya teknologi dengan mengusahakan subsidi android, sementara
distribusi buku-buku berkualitas semakin dipersulit. Wallahu a’lam bi al
showab.
*Penulis
adalah peneliti muda dari Monash Institute Education and Journalism (MIEJ) UIN
Walisongo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar