Isyarat
Negeri Akhirat*
Di padang mahaluas yang teramat terik
itu ribuan orang bahkan mungkin lebih berduyun-duyun berjalan tertatih-tatih.
Wajah mereka begitu tegang, penuh harap-harap cemas. Mereka sama sekali tak
pernah tahu pada akhirnya akan dihalau ke mana. Semua tergantung amaliah
masing-masing semasa hidup di dunia.
Ustadz Zakir tampak tenang dan santai.
Ia merasa tak perlu gugup apalagi sampai panik. Ia telah mempersiapkan
segalanya. Lelaki yang pernah menangguk ilmu di pesantren ternama itu percaya
cepat atau lambat pasti akan menghadapi detik-detik sangat menentukan ini.
Ia melangkah dengan mantap. Ustadz Zakir
yakin sekali dirinya bakal masuk surga. Rasanya hampir semua perintah Sang
Khalik ia penuhi. Kalaupun ada yang luput, itu semata karena khilaf. Dan, tentu
akan tertutupi oleh berbagai ibadah serta sejibun kebajikannya. Setiap hari ia
tidak pernah melalaikan shalat lima waktu. Puasa bukan cuma di bulan Ramadhan,
di hari-hari biasa tertutma Senin Kamis ia juga berpuasa. Begitu pula ke tanah
suci, sudah tak terhitung berapa kali tepatnya, karena Ustadz Zakir sering
ditunjuk pemilik travel menjadi pembimbing haji dan umrah. Sedang berdakwah,
sejak muda telah ia lakoni.
Tetapi, saat Ustadz Zakir melangkah mau
bergabung dengan barisan calon penghuni surga, kenapa ia buru-buru dicegat?
Kemudian malah dihalau ke arah neraka. Tentu saja ia bingung dan protes. “Apa
aku akan dimasukkan ke neraka?
“Tidak!” tukas malaikat berwajah sangar.
”Kamu cuma berdiri untuk menyaksikan kenalan-kenalanmu.”
“Kenapa? Tanyanya tak habis mengerti.
Namun malaikat tersebut tidak serta
merta menjawab. Ia justru mendorong paksa supaya Zakir semakin dekat ke tepi
neraka. Ia melihat orang-orang dekat dan tetangganya disiksa. Mereka
melonglong-longlong berteriak kesakitan minta ampun. Tubuh mereka hangus
dijilat api yang berkobar-kobar dahsyat. Tapi, setiap kali itu pula, hanya
dalam hitungan detik tubuh mereka kembali seperti sedia kala untuk nanti
disiksa lagi.
Usradz Zakir betul-betul ngeri rasanya
tak kuat berlama-lama melihat berbagai bentuk penyiksaan itu.
“Sampai kapan aku harus menyaksikan
semua ini?”
“Hingga batas masa hukuman mereka
berakhir!” jawab malaikat ketus.
“Hahhh?!” Ustadz Zakir tak kuasa
menyembunyikan keterkejutannya.
“Memangnya apa kesalahanku?”
“Karena kamu tidak pernah mengingatkan,
padahal mereka orang-orang dekatmu. Kamu hanya asik beribadah mencari
keselamatan sendiri.”
“Bukankah pekerjaanku selalu berdakwah?”
bantahnya.
“Ya! Tapi, hanya dilingkungan orang-orang
yang relatif sudah baik. Itupun lantaran mereka mengundangmu, dan pulangnya
dapat amplop! Kamu hanya mengajarkan kebaikan, enggan menegakkan nahi munkar
karena itu beresiko! Padahal, di sekelilingmu begitu banyak kebobrokan dan
kejahatan.”
Ustadz Zakir terdiam. Lidahnya mendadak
kelu.
“Raja semut saja, yang derajatnya lebih
rendah dari manusia, ketika tentara Sulaiman mau lewat, ia tak hanya memikirkan
keselamatan sendiri. Cepat-cepat mengingatkan teman-temannya agar tidak
terlindas. Sementara kamu, kerusakan di depan mata dibiarkan!”
Ustadz Zakir terpasak kaku. Tak berkutik
untuk melakukan pembelaan.
“Karena itu, tetaplah di situ!” hardik
si malaikat.
Entah kenapa, Zakir yang semula tidak
merasakan apa-apa, kini setelah malaikat itu berlalu pergi, mandadak sekujur
tubuhnya disengat panas luar biasa hingga melepuh. Ia berteriak histeris.
“Aaakkkkggghhhh…..”
Istrinya yang terlelap disamping sontak
terbangun lalu mengguncang-guncang tubuh Ustadz Zakir.
“Mimpi sama lagi, pak?”
Ayah tiga anak itu mengangguk lemah.
Keringat merembes di lehernya.
Sang istri ikut prihatin.
***
Pagi ini Ustadz Zakir tampak kembali
bugar. Tak ada tanda-tanda barusan sakit. Padahal, kemaren suhu badannya sangat
tinggi. Ia sampai menceracau saking panasnya. Begitulah, setiap kali ia
bermimpi tentang negeri akhirat selalu kemudian dibarengi dengan demam. Tapi
sembuhnya juga mendadak, walau tidak minum obat. Pernah dibawa ke dokter,
katanya, ia tidak menderita apa-apa.
Dalam beberapa bulan terakhir, entah
berapa kali sudah Ustadz Zakir mengalami kejadian serupa. Hal itu, tak pelak
sangat mengganggunya!
“Sebaiknya pian ke Kiai Sepuh. Siapa
tahu sidin bisa memberi jalan keluar” usul istrinya.
Kiai sepuh sebutan untuk guru dimana ia
mengaji duduk di sela mondok di pesantren Martapura. Dulu kalau ada masalah ia
sering datang kepada Kiai Sepuh. Tapi, itu sudah lama sekali. Semenjak
permintaan ceramahnya sendiri cukup padat, Ustadz Zakir jarang sowan ke tempat
gurunya itu.
Sebenarnya ada rasa sungkan dan malu.
Namun, kepada siapa lagi ia harus curhat dan minta petunjuk?
Ustadz Zakir sependapat dengan saran
istrinya. Karena itu, ia bermaksud minta tolong kepada keponakannya, Ipin,
untuk menemani menyetir. Sekalian nanti berencana menengok putra sulungnya yang
kuliah di salah satu perguruan tinggi Banjarmasin.
Sambil meregangkan otot-otot badan,
Ustadz Zakir berjalan kaki berniat menyambangi Ipin. Tidak begitu jauh, masih
satu kampung, hanya beda RT. Di tengah perjalanan, ia melihat orang-orang mulai
berkerumun. Ia penasaran lalu bertanya kepada salah satu warga.
“Anu Ustadz, barusan tadi Igum menghajar
Haji Sadak?”
“Masalahnya apa?”
“Biasa…soal utang duit ba’anak. Karena
tidak sanggup bayar, Haji Sadak menyita tivi. Tapi, Igum tak terima. Katanya,
kalau dihitung-hitung utangnya itu sebenarnya sudah lama lunas. Lantaran bunga
berbunga, sampai sekarang terus disuruh membayar. Haji Sadak balas mengatai
macam-macam, bahkan mengancam. Akhirnya terjadi perang mulut. Tahu-tahu Igum
mengambil kayu balok, memukulkan ke Haji Sadak.”
Ustadz Zakir tidak berkomentar. Ia tahu
Sadak sudah lama menjadi rintenir. Ia terkenal tegaan, tidak segan-segan
mengangkut barang-barang yang tak mampu bayar. Sekarang tahu rasa, kena
batunya!
Ia melanjutkan langkah.
Tetapi, setiba ditujuan hanya tampak
ayah Ipin.
“Mana Ipin?”
Adik Ustadz Zakir itu tidak menyahut.
Wajahnya tertunduk lesu, seperti ada yang disembunyikan.
Terpaksa ia mengulangi pertanyaan yang
sama.
“Ipin tadi malam digaruk polisi.
Ketangkap basah nyabu.”
Ustadz Zakir kaget. Sama sekali tak
mengira.
“Gimana kamu mendidik anak?” semprotnya
menyalahkan. “Apa kata orang nanti, keponakan ustadz juga nyabu. Namaku pasti
terseret-seret.”
“Pian bisanya cuma menyalahkan! Ulun
sudah berbuih mulut memadahi tapi tak pernah di gubris. Ulun berapa kali minta
tolong pian, siapa tahu omongan pian lebih didengar, tapi tidak ditanggapi.
Karena kalau ceramah pian dapat bayaran, sementara menasehati keponakan sendiri
tak dapat apa-apa.”
Perkataan sang adik benar-benar menohok.
Ustadz Zakir pulang sambil menahan amarah.
***
Dihadapan Kiai Sepuh ia curhat,
menceritakan semua. Terutama tentang kebiasaannya yang selalu jatuh sakit
setiap usai didatangi mimpi tersebut.
“Kamu harusnya besyukur masih diberi
isyarat dari negeri akhirat. Coba tanpa peringatan itu, tiba-tiba kamu mati;
jangan-jangan bukan cuma disuruh menyaksikan, tapi kamu snediri yang
dicemplongkan ke neraka itu.”
“Kiai kok ngomongnya begitu.”
“Lho, benarkan?!” ucap Kiai sambil
tertawa terkekeh.
Gurunya itu kemudian banyak memberi
saran dan masukkan kepada Ustadz Zakir.
“Perbanyaklah nahi munkar, karena
masyarakat kita sekarang sedang sakit parah. Aku sedih mendengar Amuntai masuk
kategori darurat narkoba. Harusnya ulama juga ikut berperan aktif memerangi
penyakit masyarakat.”
Ustadz Zakir menyimak dengan khidmat.
“Memang menyerukan nahi munkar itu
beresiko, cenderung tidak disukai bahkan mungkin saja dimusuhi. Namun itulah
konsekuensi seorang mubaligh. Kalau cuma cari aman, apalagi menjadikannya
semata-mata sebagai sumber penghasilan, itu bukan pendakwah namanya, tapi
penjual ayat dengan harga murah.”
Kata-kata Kiai Sepuh terasa pahit dan
pedas.
Tetapi, diam-diam Ustadz Zakir menyadari
banyak hal memang yang telah terabaikan olehnya selama ini.
***
Sepulang dari memberi pengajian di
Lapas, Ustadz Zakir senyum-senyum sendiri.
“Cerita, dong?” desak istrinya yang
bingung melihat tingkah sang suami.
“Kamu tahu nggak, ternyata di Lapas itu
banyak napi yang tidak bisa baca doa mandi junub, padahal mereka sudah beristri
dan punya anak. Kasihan, mereka tidak ada yang membimbing.”
Karena itu, Ustadz Zakir merasa beruntung
diminta memberi pencerahan setiap pekan, meski honornya tidak seberapa. Tapi,
ia merasa kehadirannya benar-benar sangat berarti dan memang dibutuhkan.
Ceritanya, dulu lantaran sering membezok
Ipin di sana ia jadi kenal Kepala Lapas, hingga diserahi amanah tersebut.
“Biarlah permintaan ceramah pian
sekarang agak berkurang, yang penting asal berkah.”
Ustadz Zakir sependapat dengan istrinya.
Akhir-akhir ini, sejak gencar melakukan
nahi munkar, tidak sedikit majelis yang berhenti mengundangnya. Diantaranya
pengajian di isntasni-instansi pemerintah. Mungkin kerena gerah ia sering
mengkritik tentang pungli, praktik KKN dalam pengadaan proyek, mark-up anggaran
maupun korupsi, mereka lalu tersinggung. Tak apa, yang penting sebagai
pendakwah ia sudah menjalankan kewajibannya.
Dan, satu hal lagi yang tak kalah
penting….sejak itu Ustadz Zakir tak pernah lagi didatangi mimpi tentang negeri
akhirat yang sangat mengerikan.
*Ditulis
oleh : Aliansyah Jumbawuya
Sumber
tulisan : Radar Banjarmasin, edisi Minggu, 11 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar