Menjahit Sayap Malaikat*
Sejak ditinggal mati suaminya, Maria
membuka usaha jahit di rumahnya. Mula-mula sepi, tapi hari demi hari pesanan
jahitan mulai banyak dan ia kewalahan. Ia merekrut dua gadis di dekat rumah
untuk membantu. Ia bangkit dan bisa menghidupi dua anak yang masih kecil, diri
sendiri, dan dua karyawan. Sampai suatu ketika, sesosok malaikat datang
mengetuk pintu rumahnya.
Malaikat itu datang tengah malam, persis
empat tahun sepeninggal suami yang tewas dalam kecelakaan. Malaikat itu mengetuk
pintu dengan lembut, sampai-sampai tak bakal ada yang dengar, kecuali orang
yang benar-benar berhati suci atau yang dikehendaki malaikat itu untuk
mendengar.
Maria masih bermimpi ketika ketukan itu
merayapi kepala. Seperti tetes air di kendi. Begitu lemah dan teratur. Bergema
namun tak gempar. Jernih dan terang. Tetes demi tetes membangunkan Maria. Ia
lihat jam dinding dan bangkit untuk membuka pintu. Malaikat itu, sebagaimana di
kisah tidak masuk akal buku dongeng, tidak berwujud penuh cahaya; malaikat itu
berwajah jelek dengan kulit hitam dan bau arang. Ia berbaju compang camping dan
wajahnya babak belur, bagai maling habis dihajar massa. Tangan kanannya membawa
bertumpuk kain serupa selimut.
“Ada apa, Pak?”
“Ini, Bu. Tolong jahitkan,” kata
malaikat.
Maria mempersilahkan tamunya masuk.
Tidak curiga, bahkan ia sepenuh sadat menyiapkan mesin jahit dan tali pengukur.
Ia baru sadar beberapa detik kemudian, saat si malaikat mengaku mengalami
kecelakaan di langit; sebuah pesawat dengan pilot kasar, menghantam sayapnya hingga
koyak. Kini, sayap-sayap itu berpindah ke tangan Maria.
“Bapak jangan ngaco!” Itu kalimat yang
pertama Maria ucapkan, tetapi demi Tuhan, kain yang ia kira selimut lebih
lembut dari dugaan. Bahkan, tidak pernah ada kain selembut ini. Ia perhatikan
sekali lagi, beberapa helai bulu rontok, melayang di udara, tak jemu-jemu, tak
kunjung rebah pada bumi. Bulu-bulu sayap itu melayang santai begai gelembung
sabun.
“Begini, Bu. Jangan kaget,” kata
malaikat itu penuh kesopanan, hingga tidak membuat Maria panik, kecuali
menyebut-nyebut nama Tuhan; apa mau malaikat ini? Apa ia hendak mati? Oh,
tidak. Jangan dulu. Maria terus berpikir dan kepalanya pening.
Malaikat itu pun melanjutkan, “Saya
memang malaikat dan benar-benar minta tolong dijahitkan sayap-sayap itu.”
Maria tak tahu ada berapa banyak penjahit
di kota ini, tapi kenapa si malaikat yang jatuh ke bumi berkat dihantam pesawat
itu, meminta tolong padanya? Ada banyak penjahit di luar sana yang lebih
beriman darinya, yang pantas bertemu dan membantu malaikat ini, tapi kenapa?
Malaikat itu tidak perlu mendesak. Maria mulai bekerja dengan penuh rasa gugup.
Ia memujlai jahitan dari salah satu sudut, dan si malaikat memuji betapa tekun
usaha yang Maria jalankan. Sudah maju sebigini rupa, padahal belum tiga tahun
memulai. Maria heran dan bertanya, tentu sambil menelan ludah grogi, “Dari mana
Bapak tahu?”
“Tolong jangan panggil saya Bapak.
Panggil saja bung. Lebih elegan dan misterius,” kata malaikat. Maria menuruti
dan menyebut kata ‘Bung’ di akhir pertanyaan yang sama. Si malaikat lalu
menjawab, ia tahu karena suami Maria meninggal di tangannya. “Ya, sayalah yang
mencabut nyawa suamimu,” kata malaikat itu dengan jujur.
Maria untuk sesaat terkejut, dan sambil
terus menjahit benda aneh ditangannya, tidak berkata apa-apa. Malaikat itu
tadinya sungkan meminta tolong pada Maria untuk dijahitkan sayapnya yang koyak
moyak, sebab dahulu suami perempuan ini mati karenanya. Tapi kali ini, si
malaikat heran, bagaimana mungkin Maria tidak marah dan mengusirnya?
Tentu saja, Maria tidak perlu segusar
itu. Ia memang tidak rajin beribadah, tapi ia tahu, malaikat hanya bertugas.
Takdirlah yang berkata bahwa suaminya harus mati empat tahun lalu. Jadi,
perempuan itu tidak menyalahkan siapa-siapa dan tidak berkata apa pun sampai
kedua sayap malaikat itu selesai. Sayap-sayap itu siap dipasang ke punggung si
pemilik, ketika Maria akhirnya bersuara, “Simpan rasa sungkanmu, Bung. Aku
sudah terima takdir itu seperti engkau menerima nasibmu sebagai pengemban
tugas.”
Malaikat itu tersenyum, dan bingung
harus berkata apa.
*Ditulis
oleh : Ken Hanggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar