Ayah*
Bulan terakhir pada penanggalan
matahari. Tepat ketika petrichor
menyerbak ramai-ramai sehabis kemarau memanggang tanah hingga kerontang.
Rambutan, durian, langsat, kesturi dan sebagainya bukan lagi sekedar bunga di
ranting pohon. Mereka telah menjelma menjadi buah masak yang siap dijajakan di
tepian jalan atau disantap usai dipetik langsung.
Membayangkan segala jenis
buah-buahan khas musim hujan itu tak urung turut menyeruakkan rindu di sela
jantung dan paruku. Sudah hampir setengah tahun berlalu aku tak menyibak pintu
rumah ayah. Lelaki paruh baya yang kini tinggal sendiri usai kepergian ibu
menghadap Allah dua tahun silam. Bukan tak ingin pulang. Sungguh, aku teramat
rindu pada lelaki yang dulu bekerja sebagai guru agama di sebuah madrasah
ibtidaiyah tersebut. Hanya saja kesibukanku sebagai tenaga pengajar di sebuah universitas
inilah penyebabnya. Kampus tempatku mengajar berada di ibukota provinsi,
sedangkan tempat tinggal ayah ada di kota kabupaten yang harus ditempuh selama
tiga jam dengan perjalanan darat.
Tetapi kemudian, segala alasan
kesibukan itu rubuh dengan sebaris surat dari ayah. Kemaren siang aku menerima
surat dari ayah melalui seorang tukang pos yang biasa mengantar paket untuk
pihak universitas. Dimasa teknologi yang demikian canggih, ayah tetap memilih
setia dengan kebiasaan lamanya berkirim surat kepadaku atau kakak lelakiku yang
kini bekerja sebagai polisi yang bertugas di pulau jawa.
Kalimat surat ayah sederhana.
Ditulis dengan serangkaian huruf bersambung khas cara penulisan di zamannya.
Goresannya laksana anyaman dengan ketebalan dan tinggi yang beragam. Aku
mengenali benar tulisan itu lantaran selama enam tahun duduk di madrasah
ibtidaiyah, begitulah tulisan yang kutemui manakala jam pelajaran pendidikan
agama islam.
Ayah
hanya ingin bercerita, rambutan di halaman rumah kita hampir memerah semua. Ingin
dikirimkan takut membusuk diperjalanan. Dibiarkan, khawatir kamu tak sempat
mencicipi barang sebiji saja. Seminggu terakhir, dipelataran mesjid raya juga
ramai orang menjajakan durian dan kesturi. Ayah tak berani memakannya karena
kata kakak perempuannmu yang bidan itu bisa memicu tekanan darah tinggi. Tapi
ayah tahu, kamu menyukai juga dua buah itu.
Lama aku tertegun. Meresapi surat
ayah itu dengan air mata yang mengambang, siap hendak menirai di kelopak. Ia
tak memintaku pulang secara gamblang, hanya tersirat. Sebab aku tahu benar,
ayah bukanlah pribadi yang senang memaksakan kehendaknya terlebih pada
anak-anaknya. Tekadku sudah bulat, segera pulang selepas para mahasiswa
menyelesaikan ujian akhir semester. Ku kabari kak Siti, kakak perempuanku, anak
kedua dalam keluarga kami. Kini ia sajalah yang tinggal satu kota dengan ayah
meski tidak lagi serumah. Sebenarnya kami bertiga sudah berkali-kali menawarkan
ayah untuk ikut salah satu diantara aku, abangku, atau kak Siti. Tetapi ayah
tetap kukuh menolak. Ia beralasan lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, selain
karena lebih dekat bila ingin ziarah ke makam ibu, beliau merasa di rumah
inilah kenangan kami banyak tertinggal.
***
Rumah itu masih sama, arsitekturnya
khas banjar. Dihalaman tumbuh pohon jambu biji, mangga, dan rambutan. Terasa
rindang dan asri. Tak dipagari dengan beton atau besi, hanya tanaman serai dan
lidah mertua yang tumbuh sejajar. Aku tersenyum. Di sudut kiri rumah kami,
tanaman kembang kertas tumbuh rimbun berselang-seling dengan mawar merah yang
dibiarkan merambat. Itu bunga kesayangan ibu semasa beliau masih hidup. Dari lalungkang, kulihat ayah tersenyum ke
arahku.
“Pekerjaanmu sudah selesai, Li?”
tanya beliau ketika kami telah duduk di ruang tamu atau yang oleh masyarakat
sekitar lazim disebut sebagai penampik
basar.
Aku mengangguk.
“Syukurlah. Malam ini kita shalat
berjamaah di masjid raya sekalian ayah teraktir durian dan kesturi kesukaanmu.”
Ucapnya dengan binar bahagia.
“Inggih, Yah.”
Aku hanya menyetujui pintanya itu.
Rinduku sudah kadung untuk diluapkan. Selepasnya, kami berbincang berdua.
Menikmati suara burung-burung yang berkicau hendak pulang ke sarang usai
mencari makan seharian. Senja terasa meluruh dengan cepat ketika dilalui dalam
suasana kebersamaan yang hangat.
***
Sepulang dari masjid tadi, kami
membeli sebiji durian dan beberapa buah kesturi. Sengaja tak banyak, karena aku
akan memakan itu sendirian. Ayah tak berani mencicipi lantaran menghindari
penyakit tekanan darah tinggi beliau kambuh. Aku juga tak berani memakan banyak-banyak,
maruk. Lagi pula bisa menyebabkan panas di perut. Sesampainya di rumah, gegas
durian itu dibelah. Baunya yang legit tak urung membuatku membayangkan bahwa
rasanya juga akan serupa. Namun nihil, aku justru dirundung kecewa luar biasa.
Durian itu busuk seluruhnya.
“Ini penipuan, Yah. Biar Ali
kembali ke sana meminta ganti durian yang lain pada penjualnya.” sungutku
dengan rasa kesal yang memuncak.
Ayah menahan tanganku yang hendak
bersiap-siap beranjak dari dapur.
“Duduklah, di luar sedang hujan.
Lagi pula masih ada hari esok kan?” Ayah terkesan sedang berusaha menawar rasa
kesalku.
“Tapi, Yah...” Kalimatku
menggantung karena telunjuk kanan ayah lebih dulu memagar bibirnya pertanda
memintaku diam.
“Ayah tahu kamu kecewa. Tetapi
ketahuilah, Nak, hal yang bagimu merugikan itu, tidaklah sebesar rugi yang
mungkin saja ia telah terima. Kita tak pernah tahu, bisa jadi seluruh durian
yang ia bawa itu busuk sejak dari kebunnya sehingga memang tadi pun hanya kita
yang membelinya kan? Bisa jadi pula kita adalah pembeli pertama sekaligus
terakhir banginya.”
“Dia tidak jujur dalam berdagang,
Yah,”
Ayah tersenyum. Mengusap pudakku
hangat.
Urusan jujur dan tidaknya biarlah
Allah yang menilai, anakku. Satu hal yang pasti, kita menghargai usahanya untuk
menjaga diri dari perbuatan meminta-minta. Karena sesungguhnya perbuatan
meminta-minta itu tidak disukai Allah dan rasul-Nya. Kamu ingat cerita ayah
tentang seorang peminta-minta yang menghadap Rasulullah?
“Ingat. Hari itu Rasulullah sedang
berkumpul dengan para sahabat di suatu majelis. Tiba-tiba datang seorang lelaki
kepada mereka untuk memohon sedekah. Tetapi rasulullah justru bertanya apa ia
punya rumah? Kemudian lelaki itu menjawab bahwa ia hanya memiliki selembar baju
dan cawan untuk meminta-minta. Rasulullah kemudian memintanya mengambil kedua
barang tersebut lalu beliau melelangya kepada para sahabat yang sedang berada
di majelis. Terhadap si lelaki peminta-minta itu, Rasulullah berpesan agar ia
membeli makanan untuk anak istrinya dan sisanya digunakan untuk modal membeli
kapak yang akan menjadi modalnya bekerja mencari dan berjualan kayu bakar.”
“Bagus. Sekarang ayah tanya
kepadamu, apa selama ini kamu pernah mengecewakan orang lain?”
Aku tertunduk sesaat sebelum
menjawab pertanyaan ayah. Tak berani menatap mata keabu-abuan yang menyimpan
segala kebijaksanaan hidup itu. Ujungnya aku hanya mampu menjawab dengan
anggukan halus. Mustahil sebagai seorang manusia kau tak pernah mengecewakan
orang lain.
“Apa kamu mengharapkan dimaafkan
oleh orang tersebut, Nak?” suara ayah terdengar berat meski tidak parau.
Kembali aku hanya sanggup mengangguk untuk pertanyaan beliau itu.
“Kalau begitu, maafkanlah juga
penjual durian yang mengecewakanmu. Anggap saja itu sedekah bagimu.” tutup ayah
malam itu.
Hingga mejelang terlelap,
nasehatnya masih seolah mengiang ditelingaku. Sesungguhnya bukan perihal harga
yang membuatku kecewa pada penjual itu. Tetapi perkara ketidakjujurannya akan
kualitas durian yang dijualnya. Walau kata ayah, bisa jadi si penjual
bersangkutan juga tidak tahu lantaran hanya bekerja sebagai buruh yang ditugasi
tengkulak menjual durian miliknya.
***
Mataku memicing sebentar, menajamkan teliga saat terdengar suara riuh di
beranda. Ada gelak, ada pula lengkingan. Usai merapikan tempat tidur, bergegas kuhampiri
sumber suara. Di sana, telah duduk kakak iparku menemani yah berbincang.
Sedangkan ketiga keponakanku sibuk mengejar ayam-ayam kate peliharaan ayah yang
dilepas begitu saja di halaman rumah. Sesekali terdengar suara kakak iparku
menegur anak-anaknya.
“Li, tangkap!” teriak kakak iparku
tiba-tiba sembari melempar kunci mobil miliknya.
“Dibagasi masih ada dua karung
durian, sebagian sedang dibagikan kakakmu ke tetangga. Kamu angkat gih, mungkin
mau mencicipi. Baru dipetik dari kebun Abah kemaren, dijamin legit.” terangya
lantang.
“Untuk Ali semua, Bang?”
Ia menggedikan bahu sekan tak tahu
jawaban atas pertanyaanku. Sebelum kemudian terkekeh kecil.
“Ya terserah, kalau kuat habiskan
saja.” candanya.
“Buah keikhlasan, Li. Janji Allah
lunas, sedekah satu dibalas sepuluh.” Timpal Ayah sembari tersenyum dari
kursinya. Mata tuanya memandang hangat ke arahku.
“Lebih, Yah. Dibalasnya dua karung
malah....” sahutku berlalu.
Pikiranku menerawang. Teringat ilmu
keikhlasan yang tadi malam diajarkan pleh ayah melalui nasehatnya. Ya. Kurasa
hingga pensiun pun ayah tetaplah guru bagi kami; anak-anaknya. Guru tentang
kehidupan dan penerang jalan menuju keridaan-Nya.
*Ditulis oleh : Miranda Seftiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar