Rabu, 07 Desember 2016

Opini "Dakwah Aksara Perbaiki Generasi Muda"

Dakwah Aksara Perbaiki Generasi Muda

Oleh : Rizka Alifah*

Sekitar ratusan tahun yang lalu. Indonesia mengalami metamorphosis dari zaman praaksara menuju zaman aksara. Setelah sebelumnya manusia purba terlebih dahulu mengenal alat untuk berkomonikasi yang sekarang disebut sebagai bahasa.
Berawal dari bahasa isyarat hingga berkembang menjadi bahasa yang beraneka ragam, maka hal demikian menyebabkan berbagai perbedaan tutur kata yang tak bisa dipahami secara bersama. Beranjak dari realitas tersebut, perkembangan itu berlanjut hingga ditemukan cara penyampaian bahasa dan aksara melalui media.
Di dalangi oleh kaum Barat dan merambah ke seluruh dunia melalui mediator globalisasi, perkembangan teknologi komonunikasi membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Diantaranya adalah dampak positif, yaitu sebagai sarana penyebaran informasi secara cepat dan mudah tanpa adanya batas dan penghalang.
Namun disisi lain, perkembangan teknologi tanpa direncana juga memboncengi berbagai dampak negatif. Dampak negatif ini paling tampak mendominasi para pengguna teknologi, baik dari golongan muda hingga golongan tua yang kurang mengutamakan segi applied, tetapi lebih  ke segi style. Amati fenomena pada hari ini. Bandingkan kualitas dan kuantitas para pemikir, cendekia, dan kritikus dengan berbagai karyanya pada hari kemarin.

Degradasi Bahasa
Dalam sosiologi, dikenal jenis perubahan dengan alur menyerupai siklus. Apabila diterapkan pada konsep perkembangan bahasa dan aksara, jawabannya adalah tepat. Dibuktikan dengan kenyataan yang menimpa generasi muda zaman sekarang yang kembali menggunakan bahasa isyarat, sehingga cenderung praaksara tapi dengan model yang berbeda.
Sama-sama menggunakan bahasa isyarat dalam mengungkapkan sebuah informasi hanya saja perbedaannya jika dahulu komunikan mempraktikkan bahasa isyarat dengan gerakan anggota badan, maka sekarang bahasa isyarat tersebut disederhanakan hanya dengan gerakan jempol pada layar smartphone.
Sementara itu dalam bidang aksara, sama-sama tidak menggunakan tulisan sebagai medianya. Perbedaannya jika dahulu komunikan tidak menggunakan tulisan karena memang belum mengenalnya, maka sekarang mereka tidak menulis karena memang malas atau tidak mau pusing-pusing memikirkan kaidah dan bobot tulisannya.
Akibatnya, kemampuan berbahasa dan menulis para generasi sekarang sedikit demi sedikit telah tererosi oleh canggihnya teknologi. Indikator utamanya sederhana, generasi sekarang dimanjakan oleh berbagai kemudahan yang serba instan dalam bidang komunikasi, sehingga kurang melatih atau bahkan melemahkan logika dan mental.
Contoh kecilnya, ketika para remaja masa lalu jatuh cinta, mereka akan menyampaikannya melalui sebuah surat. Mau tidak mau mereka harus menggunakan bahasa yang baik dan indah agar bisa diterima. Kalaupun masih belum diterima atau justru sebaliknya yaitu ada balasan surat, maka hal ini akan mendorong mereka untuk menulis lebih banyak surat dan memperbaikinya.
Bandingkan dengan remaja masa kini dalam keadaan yang sama yaitu saat jatuh cinta, tidak lain cara yang digunakan kebanyakan dari mereka untuk mengungkapkan perasaannya melalui dunia maya, cukup dengan pesan singkat berisi rayuan-rayuan dari telepon, Facebook, Whatsapp dan banyak lainnya, tapi belum tentu mereka berani mengungkapkannya secara langsung di hadapan sang pujaan hati.

Pendidikan Menulis
Kenyataan memprihatinkan tersebut membuat penulis sadar akan pentingnya dakwah aksara, yaitu jihad demi mengembalikan arah panah alur gelombang pada siklus perubahan sesuai pola sebelumnya yang pernah berada di puncak serta berusaha untuk mempertahankannya. Dengan kata lain, berusaha dan berjuang mengembalikan budaya menulis dikalangan masyarakat serta melestarikannya. Namun dengan tetap tidak meninggalkan kemajuan teknologi selama masih dalam batas wajar dan memiliki substansi kemanfaatan.
Dakwah akasara lebih diutamakan daripada dakwah tulisan, dikarenakan menulis adalah bentuk penyampaian pendapat yang paling mudah, murah, dan efektif. Memang dakwah lisan seperti yang diterapkan oleh para ulama juga penting. Namun mereka belum disebut ulama jika belum punya karya, disamping dakwah lisan mereka juga tetap menulis kitab dan karya-karya besar pada masanya. Hal itu dilakukan karena mereka sadar bahwa dakwah dengan liasan saja belumlah efektif.
Dengan demikian, persentase informasi yang dapat ditangkap oleh pembaca jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan informasi yang dapat ditangkap oleh audience. Begitu pula bagi pembicara hebat yang hanya akan dikenang dalam kurun waktu beberapa tahun, berbeda dengan penulis karya besar yang akan diingat berabad-abad.
Perlunya meregenerasi para ilmuan muda beserta karya-karya besarnya, dengan mengembalikan hak-hak mereka memperoleh pendidikan menulis. Dalam hal ini, semua pihak diharapkan mampu berkontribusi secara maksimal, semisal dari pemerintah dengan menggalakkan susidi buku serta memberikan apresiasi besar kepada para penulis berprestasi. Bukan menyesatkan mereka dalam fananya teknologi dengan mengusahakan subsidi android, sementara distribusi buku-buku berkualitas semakin dipersulit. Wallahu a’lam bi al showab.


*Penulis adalah peneliti muda dari Monash Institute Education and Journalism (MIEJ) UIN Walisongo

Sumber : Banjarmasin Post, Edisi Selasa 6 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar