Selasa, 13 Desember 2016

Cerpen "Isyarat Negeri Akhirat"



Isyarat Negeri Akhirat*

Di padang mahaluas yang teramat terik itu ribuan orang bahkan mungkin lebih berduyun-duyun berjalan tertatih-tatih. Wajah mereka begitu tegang, penuh harap-harap cemas. Mereka sama sekali tak pernah tahu pada akhirnya akan dihalau ke mana. Semua tergantung amaliah masing-masing semasa hidup di dunia.
Ustadz Zakir tampak tenang dan santai. Ia merasa tak perlu gugup apalagi sampai panik. Ia telah mempersiapkan segalanya. Lelaki yang pernah menangguk ilmu di pesantren ternama itu percaya cepat atau lambat pasti akan menghadapi detik-detik sangat menentukan ini.
Ia melangkah dengan mantap. Ustadz Zakir yakin sekali dirinya bakal masuk surga. Rasanya hampir semua perintah Sang Khalik ia penuhi. Kalaupun ada yang luput, itu semata karena khilaf. Dan, tentu akan tertutupi oleh berbagai ibadah serta sejibun kebajikannya. Setiap hari ia tidak pernah melalaikan shalat lima waktu. Puasa bukan cuma di bulan Ramadhan, di hari-hari biasa tertutma Senin Kamis ia juga berpuasa. Begitu pula ke tanah suci, sudah tak terhitung berapa kali tepatnya, karena Ustadz Zakir sering ditunjuk pemilik travel menjadi pembimbing haji dan umrah. Sedang berdakwah, sejak muda telah ia lakoni.
Tetapi, saat Ustadz Zakir melangkah mau bergabung dengan barisan calon penghuni surga, kenapa ia buru-buru dicegat? Kemudian malah dihalau ke arah neraka. Tentu saja ia bingung dan protes. “Apa aku akan dimasukkan ke neraka?
“Tidak!” tukas malaikat berwajah sangar. ”Kamu cuma berdiri untuk menyaksikan kenalan-kenalanmu.”
“Kenapa? Tanyanya tak habis mengerti.
Namun malaikat tersebut tidak serta merta menjawab. Ia justru mendorong paksa supaya Zakir semakin dekat ke tepi neraka. Ia melihat orang-orang dekat dan tetangganya disiksa. Mereka melonglong-longlong berteriak kesakitan minta ampun. Tubuh mereka hangus dijilat api yang berkobar-kobar dahsyat. Tapi, setiap kali itu pula, hanya dalam hitungan detik tubuh mereka kembali seperti sedia kala untuk nanti disiksa lagi.
Usradz Zakir betul-betul ngeri rasanya tak kuat berlama-lama melihat berbagai bentuk penyiksaan itu.
“Sampai kapan aku harus menyaksikan semua ini?”
“Hingga batas masa hukuman mereka berakhir!” jawab malaikat ketus.
“Hahhh?!” Ustadz Zakir tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya.
“Memangnya apa kesalahanku?”
“Karena kamu tidak pernah mengingatkan, padahal mereka orang-orang dekatmu. Kamu hanya asik beribadah mencari keselamatan sendiri.”
“Bukankah pekerjaanku selalu berdakwah?” bantahnya.
“Ya! Tapi, hanya dilingkungan orang-orang yang relatif sudah baik. Itupun lantaran mereka mengundangmu, dan pulangnya dapat amplop! Kamu hanya mengajarkan kebaikan, enggan menegakkan nahi munkar karena itu beresiko! Padahal, di sekelilingmu begitu banyak kebobrokan dan kejahatan.”
Ustadz Zakir terdiam. Lidahnya mendadak kelu.
“Raja semut saja, yang derajatnya lebih rendah dari manusia, ketika tentara Sulaiman mau lewat, ia tak hanya memikirkan keselamatan sendiri. Cepat-cepat mengingatkan teman-temannya agar tidak terlindas. Sementara kamu, kerusakan di depan mata dibiarkan!”
Ustadz Zakir terpasak kaku. Tak berkutik untuk melakukan pembelaan.
“Karena itu, tetaplah di situ!” hardik si malaikat.
Entah kenapa, Zakir yang semula tidak merasakan apa-apa, kini setelah malaikat itu berlalu pergi, mandadak sekujur tubuhnya disengat panas luar biasa hingga melepuh. Ia berteriak histeris.
“Aaakkkkggghhhh…..”
Istrinya yang terlelap disamping sontak terbangun lalu mengguncang-guncang tubuh Ustadz Zakir.
“Mimpi sama lagi, pak?”
Ayah tiga anak itu mengangguk lemah. Keringat merembes di lehernya.
Sang istri ikut prihatin.

***
Pagi ini Ustadz Zakir tampak kembali bugar. Tak ada tanda-tanda barusan sakit. Padahal, kemaren suhu badannya sangat tinggi. Ia sampai menceracau saking panasnya. Begitulah, setiap kali ia bermimpi tentang negeri akhirat selalu kemudian dibarengi dengan demam. Tapi sembuhnya juga mendadak, walau tidak minum obat. Pernah dibawa ke dokter, katanya, ia tidak menderita apa-apa.
Dalam beberapa bulan terakhir, entah berapa kali sudah Ustadz Zakir mengalami kejadian serupa. Hal itu, tak pelak sangat mengganggunya!
“Sebaiknya pian ke Kiai Sepuh. Siapa tahu sidin bisa memberi jalan keluar” usul istrinya.
Kiai sepuh sebutan untuk guru dimana ia mengaji duduk di sela mondok di pesantren Martapura. Dulu kalau ada masalah ia sering datang kepada Kiai Sepuh. Tapi, itu sudah lama sekali. Semenjak permintaan ceramahnya sendiri cukup padat, Ustadz Zakir jarang sowan ke tempat gurunya itu.
Sebenarnya ada rasa sungkan dan malu. Namun, kepada siapa lagi ia harus curhat dan minta petunjuk?
Ustadz Zakir sependapat dengan saran istrinya. Karena itu, ia bermaksud minta tolong kepada keponakannya, Ipin, untuk menemani menyetir. Sekalian nanti berencana menengok putra sulungnya yang kuliah di salah satu perguruan tinggi Banjarmasin.
Sambil meregangkan otot-otot badan, Ustadz Zakir berjalan kaki berniat menyambangi Ipin. Tidak begitu jauh, masih satu kampung, hanya beda RT. Di tengah perjalanan, ia melihat orang-orang mulai berkerumun. Ia penasaran lalu bertanya kepada salah satu warga.
“Anu Ustadz, barusan tadi Igum menghajar Haji Sadak?”
“Masalahnya apa?”
“Biasa…soal utang duit ba’anak. Karena tidak sanggup bayar, Haji Sadak menyita tivi. Tapi, Igum tak terima. Katanya, kalau dihitung-hitung utangnya itu sebenarnya sudah lama lunas. Lantaran bunga berbunga, sampai sekarang terus disuruh membayar. Haji Sadak balas mengatai macam-macam, bahkan mengancam. Akhirnya terjadi perang mulut. Tahu-tahu Igum mengambil kayu balok, memukulkan ke Haji Sadak.”
Ustadz Zakir tidak berkomentar. Ia tahu Sadak sudah lama menjadi rintenir. Ia terkenal tegaan, tidak segan-segan mengangkut barang-barang yang tak mampu bayar. Sekarang tahu rasa, kena batunya!
Ia melanjutkan langkah.
Tetapi, setiba ditujuan hanya tampak ayah Ipin.
“Mana Ipin?”
Adik Ustadz Zakir itu tidak menyahut. Wajahnya tertunduk lesu, seperti ada yang disembunyikan.
Terpaksa ia mengulangi pertanyaan yang sama.
“Ipin tadi malam digaruk polisi. Ketangkap basah nyabu.”
Ustadz Zakir kaget. Sama sekali tak mengira.
“Gimana kamu mendidik anak?” semprotnya menyalahkan. “Apa kata orang nanti, keponakan ustadz juga nyabu. Namaku pasti terseret-seret.”
Pian bisanya cuma menyalahkan! Ulun sudah berbuih mulut memadahi tapi tak pernah di gubris. Ulun berapa kali minta tolong pian, siapa tahu omongan pian lebih didengar, tapi tidak ditanggapi. Karena kalau ceramah pian dapat bayaran, sementara menasehati keponakan sendiri tak dapat apa-apa.”
Perkataan sang adik benar-benar menohok. Ustadz Zakir pulang sambil menahan amarah.

***
Dihadapan Kiai Sepuh ia curhat, menceritakan semua. Terutama tentang kebiasaannya yang selalu jatuh sakit setiap usai didatangi mimpi tersebut.
“Kamu harusnya besyukur masih diberi isyarat dari negeri akhirat. Coba tanpa peringatan itu, tiba-tiba kamu mati; jangan-jangan bukan cuma disuruh menyaksikan, tapi kamu snediri yang dicemplongkan ke neraka itu.”
“Kiai kok ngomongnya begitu.”
“Lho, benarkan?!” ucap Kiai sambil tertawa terkekeh.
Gurunya itu kemudian banyak memberi saran dan masukkan kepada Ustadz Zakir.
“Perbanyaklah nahi munkar, karena masyarakat kita sekarang sedang sakit parah. Aku sedih mendengar Amuntai masuk kategori darurat narkoba. Harusnya ulama juga ikut berperan aktif memerangi penyakit masyarakat.”
Ustadz Zakir menyimak dengan khidmat.
“Memang menyerukan nahi munkar itu beresiko, cenderung tidak disukai bahkan mungkin saja dimusuhi. Namun itulah konsekuensi seorang mubaligh. Kalau cuma cari aman, apalagi menjadikannya semata-mata sebagai sumber penghasilan, itu bukan pendakwah namanya, tapi penjual ayat dengan harga murah.”
Kata-kata Kiai Sepuh terasa pahit dan pedas.
Tetapi, diam-diam Ustadz Zakir menyadari banyak hal memang yang telah terabaikan olehnya selama ini.

***
Sepulang dari memberi pengajian di Lapas, Ustadz Zakir senyum-senyum sendiri.
“Cerita, dong?” desak istrinya yang bingung melihat tingkah sang suami.
“Kamu tahu nggak, ternyata di Lapas itu banyak napi yang tidak bisa baca doa mandi junub, padahal mereka sudah beristri dan punya anak. Kasihan, mereka tidak ada yang membimbing.”
Karena itu, Ustadz Zakir merasa beruntung diminta memberi pencerahan setiap pekan, meski honornya tidak seberapa. Tapi, ia merasa kehadirannya benar-benar sangat berarti dan memang dibutuhkan.
Ceritanya, dulu lantaran sering membezok Ipin di sana ia jadi kenal Kepala Lapas, hingga diserahi amanah tersebut.
“Biarlah permintaan ceramah pian sekarang agak berkurang, yang penting asal berkah.”
Ustadz Zakir sependapat dengan istrinya.
Akhir-akhir ini, sejak gencar melakukan nahi munkar, tidak sedikit majelis yang berhenti mengundangnya. Diantaranya pengajian di isntasni-instansi pemerintah. Mungkin kerena gerah ia sering mengkritik tentang pungli, praktik KKN dalam pengadaan proyek, mark-up anggaran maupun korupsi, mereka lalu tersinggung. Tak apa, yang penting sebagai pendakwah ia sudah menjalankan kewajibannya.
Dan, satu hal lagi yang tak kalah penting….sejak itu Ustadz Zakir tak pernah lagi didatangi mimpi tentang negeri akhirat yang sangat mengerikan.

*Ditulis oleh : Aliansyah Jumbawuya

Sumber tulisan : Radar Banjarmasin, edisi Minggu, 11 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar