Aku
sudah tidak sabar menyelinap masuk ke dalam kamar Ibu. Seperti malam ini,
kuperhatikan Ibu sudah mulai mendengkur. Setelah menutup kembali pintu kamar,
aku memandangi wajahnya sejenak. Wajah Ibu seperti pelabuhan tua yang sudah
mulai ditinggalkan. Yang ada hanya sunyi. Tak ada lagi kapal yang merapat dan
mengaitkan tali ke dermaga. Tadi, sebelum aku menyelinap ke kamar Ibu, di meja
makan, wajahnya murung. Awalnya aku biasa saja, mungkin Ibu sedang letih. Tapi
kemudian Ibu menangis. Menggunakan handuk kecil Ibu mengusap derai-derai di
matanya. Saat kutanyakan sebab tangisnya itu, Ibu hanya tersenyum. Ia langsung
pergi ke kamar.
Aneh.
Biasanya Ibu sering bercerita kepadaku, tentang apa saja, bahkan soal burung
yang bersarang di pohon jambu belakang rumah. Saat itu Ibu melihatku sedang
mengumpulkan dedaunan kering di bawah pohon jambu. Saat aku mulai ingin
membakarnya, Ibu segera mencegahku.
“Kasihan
bayi burung yang ada di atas sana, Ratih. Mereka akan merasakan panas akibat
daun-daun yang kau bakar,” kata Ibu menunjuk ke atas pohon.
Kukira
Ibu sedang bercanda mengenai bayi burung itu, ternyata memang benar. Aku tidak
pernah memperhatikannya. Lalu kata Ibu lagi, tidak baik membakar sampah di
bawah pohon. Pemali. Susah jodoh, katanya. Aku tertawa, apa hubungannya
membakar sampah di bawah pohon dengan jodoh? Pasti hanya alasan Ibu saja.
Tepatnya menyindirku. Memang sampai sekarang aku belum memutuskan untuk
bersuami. Semua itu bukan tanpa alasan. Tapi bukankah setiap orang berhak
merahasiakan alasannya itu kepada siapa pun? Tadi Ibu juga baru saja menangis
dan ia merahasiakan sebab tangisannya itu kepadaku.
Baiklah.
Ibu tentu cemas kenapa aku selalu menolak lelaki yang datang untuk meminangku.
Sebenarnya aku tidak suka dengan cara lelaki. Kelak jika aku menerima pinangan
mereka, pasti aku akan berada pada sebuah keputusan yang rumit. Apa yang harus
kulakukan jika mereka membawaku pergi jauh? Artinya aku harus meninggalkan Ibu.
Bagaimana pun itu tidak boleh terjadi. Aku hanya akan bersuami jika mereka mau
tinggal bersamaku di sini. Dengan begitu aku bisa merawat Ibu sekaligus merawat
suamiku.
Lantas
kenapa tadi Ibu menangis? Aku jarang melihat Ibu menangis. Apakah Ibu sedang
mengingat sesuatu. Seperti ingatan-ingatan yang kembali datang tanpa permisi.
Mengingat Bapak misalnya. Entahlah, ini hanya dugaan. Sempat juga terpikir
olehku untuk mengejar Ibu sampai ke kamarnya, bertanya ini dan itu tapi Ibu
memutuskan untuk tidur. Sebenarnya ranjang di kamarnya itu sudah teramat besar
untuk Ibu sendiri. Bapak sudah duluan pergi menuju tempat di mana nantinya
semua orang menuju.
Sekarang,
saat-saat seperti ini, melihat Ibu tidur, semua hari-hari yang kulewati
bersamanya tampak anggun. Aku kembali merasakan kerinduan yang beku. Rindu akan
jempol kaki Ibu. Perlahan kudekati jempol kakinya, memasukkannya ke dalam mulut
dan menghisapnya berulang-ulang. Aku tidak peduli meski Ibu sudah melarangku.
Katanya masa lalu yang muram tidak harus menjadi masa depan yang buram. Tapi
kebiasaan Ibu memberikan jempol kakinya ke mulutku sewaktu kecil selalu
membuatku ingin mengulanginya lagi meski sudah sebesar ini.
Kata
Ibu, dulu kami lahir di sebuah dusun yang kering. Mbareng, namanya. Di
mana-mana hanya ada gunung batu cadas. Bahkan mandi pun harus pergi ke waduk
bercampur dengan para sapi. Jika kemarau tiba, waduk itu tidak lagi berair.
Pernah aku diajak Ibu kembali ke dusun itu, menemui saudara Ibu yang masih
tinggal di sana. Tiap-tiap rumah di dusun itu memiliki bak penampungan air
hujan. Air itulah yang digunakan jika kemarau tiba.
Untuk
mandi, mencuci pakaian, juga memberi minum para sapi.
Untuk hidup, mereka memetik lamtoro dan membuatnya menjadi tempe. Mereka menjualnya ke pasar dengan dibungkus daun jati. Dulu Ibu juga melakukan hal yang sama. Kata Ibu, tidak banyak yang ditawarkan hidup di dusun Mbareng. Di sana-sini hanya rimbun bebatuan cadas. Kalaulah ingin bertani, maka bebatuan itu harus digali. Tapi para lelaki dan anak-anak muda lebih suka mengadu nasib pergi ke kota. Meski hanya menjadi buruh bangunan, itu lebih baik daripada menanam padi yang tak jelas kapan panennya. Apalagi jika musim kemarau, untuk mandi saja harus berbagi dengan sapi, bagaimana mungkin merawat padi dengan air yang tak cukup.
Untuk hidup, mereka memetik lamtoro dan membuatnya menjadi tempe. Mereka menjualnya ke pasar dengan dibungkus daun jati. Dulu Ibu juga melakukan hal yang sama. Kata Ibu, tidak banyak yang ditawarkan hidup di dusun Mbareng. Di sana-sini hanya rimbun bebatuan cadas. Kalaulah ingin bertani, maka bebatuan itu harus digali. Tapi para lelaki dan anak-anak muda lebih suka mengadu nasib pergi ke kota. Meski hanya menjadi buruh bangunan, itu lebih baik daripada menanam padi yang tak jelas kapan panennya. Apalagi jika musim kemarau, untuk mandi saja harus berbagi dengan sapi, bagaimana mungkin merawat padi dengan air yang tak cukup.
Suatu
ketika Ibu sedang di dapur ingin memasak nasi. Sudah biasa bagi penduduk dusun
Mbareng yang memiliki bayi menambah takaran air saat memasaknya. Karena saat
dimasak nanti, sebagian air itu akan diberikan kepada anak bayi mereka sebagai
pengganti susu. Orang-orang menyebutnya air tajin. Warnanya persis putih susu.
Jika tanpa gula, rasanya akan hambar. Sampai sekarang aku juga sering
membuatnya ketika memasak nasi. Tentunya tanpa sepengetahuan Ibu.
Di
dapur, Ibu sibuk mengumpulkan serbuk gergajian kayu. Dengan serbuk itu, setiap
hari orang-orang dusun menyalakan api di dapur mereka. Saat Ibu masih berusaha
menyalakan api, didengarnya kami sedang menangis di kamar. Mula-mula Ibu diam
saja tapi lambat laun tangis kami semakin meledak-ledak rasanya. Ingin netek
kepada Ibu.
Akhirnya
Ibu meninggalkan dapur dan pergi menyusul kami. Namun Ibu kewalahan, susu Ibu
hanya ada dua dan kami semua ada dua belas orang. Agar kami semua bisa cepat
berhenti menangis, terpaksa Ibu menjejalkan jempol kakinya bergantian ke mulut
kami. Begitulah seterusnya sampai kami semua mendapat jatah. Jika satu mulai
menangis dan air susunya sedang mengalir di tempat lain, maka jempol kaki Ibu
satu-satunya jalan agar tangisan itu reda.
Aku
geli ketika Ibu menceritakannya kepadaku. Bahkan tak percaya kalau semua itu
benar-benar terjadi dalam hidup kami. Dan sialnya, Ibu tidak melakukannya
sekali saja. Tapi hampir setiap hari jika kami sedang menangis semua.
***
Aku
masih menikmati jempol kaki Ibu sambil membersihkan air liurku yang mengotori
jempol kakinya. Aku cemas ketika Ibu berusaha menarik kakinya dari peganganku.
“Apa
yang kamu lakukan, Ratih?” tanya Ibu bangun dari tidurnya.
Aku hanya diam memandangi wajah Ibu yang kusam. Matanya masih menyisakan bengkak habis menangis, rambutnya juga acak-acakan. Aku siap menerima jika kali ini Ibu marah besar. Namun Ibu menarik tanganku. Dibawanya aku naik ke atas ranjang lalu mendekapku hingga penuh. Masa lalu itu berkelindan sunyi dalam benak kami.
Aku hanya diam memandangi wajah Ibu yang kusam. Matanya masih menyisakan bengkak habis menangis, rambutnya juga acak-acakan. Aku siap menerima jika kali ini Ibu marah besar. Namun Ibu menarik tanganku. Dibawanya aku naik ke atas ranjang lalu mendekapku hingga penuh. Masa lalu itu berkelindan sunyi dalam benak kami.
Ibu
menangis. Wajahku berkali-kali diusap, dalam pelukan dapat kurasakan tubuh Ibu
semakin kurus, genangan air matanya meleleh di pipiku. Tangis Ibu semakin
keras, tersedak-sedak. Rambut dan pipiku berkali-kali menjadi sasarannya.
Dicium, diremas-remas. Aku bingung dengan perbuatan Ibu. Tangisnya tak sanggup
menjelaskan apa pun kepadaku. Apa ini lanjutan tangis Ibu sebelum tidur tadi?
Malam
sunyi. Kuminta agar Ibu kembali tenang, membagi sedihnya kepadaku. Barangkali
dengan bercerita, kesedihan itu bisa dicicil dengan sempurna. Pelan Ibu
membisikkan sesuatu, tersedu-sedu. Disebutnya satu persatu nama anak-anaknya,
para kakakku itu. Entah alasan apa malam ini Ibu menginginkan semua
anak-anaknya berkumpul. Ibu rindu, ingin tahu semua kabar anak-anak yang pernah
disusuinya.
Di
rumah ini, kami hanya tinggal berdua. Padahal saudaraku berjumlah sebelas orang
dan semuanya pergi meninggalkan rumah. Lima mengabdi bersama suaminya di tempat
yang jauh. Sisanya bekerja. Juga di tempat yang jauh. Mereka semua sudah
berkeluarga. Bahkan sudah memiliki anak dan rumah sendiri di sana. Awalnya,
mereka masih mengunjungi Ibu. Kadang satu tahun sekali saat-saat lebaran
datang. Tapi sekarang tidak lagi. Selalu saja ada alasan, banyak acara, banyak
biaya, juga banyak entah. Padahal Ibu teramat fasih merindukan mereka.
Segera
kulepas rangkulan Ibu yang makin kuat mencengkeram rindu lewat bahuku.
Tergesa-gesa, kuambil handphone mungil hadiah Ibu saat hari
ulangtahunku. Kutekan tombol-tombol, beberapa baris kalimat kusebar merata pada
semua.
“Malam
ini Ibu merindukan kalian!!! Malam ini Ibu ingin bertemu kalian!!! Malam ini
Ibu ingin kalian segera pulang. Pulang!!! Pulang!!! Pulannngggg!!! Malam ini
juga kalian harus pulang. Datanglah kalian ke dekapan Ibu. Malam ini juga!!!
Malam ini juga!!! Pulanglah…pulanglah kalian kepada Ibu. Pulaaaaa…nnngggg…..!”
Kusebar
semuanya kepada mereka.
"Apakah
kalian semua masih bisa merindukan seorang Ibu?"
Ketika
di antara mereka ada yang langsung menelepon. Aku hanya bisa berteriak.
"Malam ini juga! Malam ini juga! Pulang! Pulangggg! Jangan pernah ada
alasan untuk Ibu! Kalian harus pulang. Jangan pernah tidak mengabulkan
satu-satunya keinginan Ibu! Pulang! Pulang! Malam ini juga kuminta kalian semua
pulang! Rasakan kembali jempol Ibu!” Emosiku meluap-luap, aku menangis,
berteriak-teriak. “Cepat kalian pulang, Ibu sudah menunggu! Pulang, malam ini
juga karena Ibu sudah menunggu. Pulanglah segera ke rumah, Kak!
***
Semua
berduyun-duyun datang, tapi tidak malam-malam kemarin, minggu-minggu kemarin,
ketika aku mengirimkan pesan. Mereka datang setelah melihat jempol kaki Ibu ada
di televisi. Jempol yang sudah dipenuhi darah.
Aku
tak habis pikir kenapa Ibu diam-diam menyelinap saat aku lelap. Saat aku
bangun, rumah sudah kosong dan aku hanya bisa tertegun. Di atas meja, buku yang
berisi alamat-alamat sudah hilang. Ibu pergi untuk mengobati rindunya sendiri.
Tapi rindu itu tertunda bersama kereta api yang mengalami kecelakaan. Wajah Ibu
memenuhi layar kaca televisi. Jempol kakinya putus dan terselip di antara kursi
kereta api yang juga sudah patah. Lalu besoknya semua kakakku berdatangan,
lengkap membawa istri, suami dan anak-anaknya. Tapi aku tidak peduli.
Sumber : http://dokumensastrakalsel.blogspot.co.id/2016/01/cerpen-harie-insani-putra-jempol-kaki.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar