RUMAH itu jauh di ujung sana, dekat dengan kuburan. Hanya ada jalan
setapak yang bisa dilewati. Malam ini, udara di luar begitu dingin. Selalu saja
tercium wangi bunga kamboja dan melati. Angin yang bertiup kencang juga membuat
daun bambu yang tumbuh di samping rumah Acil Midah menimbulkan suara seperti
kertas yang bergesekan. Suara katak dan jangkrik ikut terdengar sangat jelas
dari dalam rumah.
Sudah lama Irham tidak mengunjungi Acil Midah. Di atas tikar
lusuh, Irham masih duduk bersila.
“Istrimu adalah tian
mandaring¸ begitulah sebutan bagi orang yang melahirkan pertama kalinya.
Maka, bila senja tiba, ajaklah istrimu masuk ke dalam rumah, menutup pintu
rapat, penuhilah syarat-syarat. Bentangkan tali haduk di setiap rumahmu
yang bercelah, juga tempat tidur yang akan digunakan istrimu ketika melahirkan
nanti. Percayalah, itu mampu menangkal sesuatu yang jahat. Kau tahu? Tian
mandaring meruapkan wangi yang sangat dahsyat. Tapi jangan kau kira
itu adalah wangi yang bisa kau cium. Lewat angin, wangi itu akan dikirim dan
menjadi penunjuk alamat rumahmu. Tapi jangan takut. Kau sudah datang kemari.
Bawalah tujuh lapis benang hitam ini pulang. Ikatlah pada jempol kaki kanan
istrimu sambil membaca shalawat nabi. Insya Allah, sesuatu yang jahat tak
berani mendekat.”
Irham hanya termangu. Tujuh lapis benang hitam sudah dalam
genggamannya. Benda-benda semacam itu bukan hal baru. Tapi dua belas tahun
hidup di pesantren membuatnya berubah. Tidak ada bedanya antara penyembah
berhala jika masih mempercayai benda-benda semacam itu, bathinnya. Tapi Irham
sangat memahami siapa Acil Midah. Dulu, sewaktu suaminya masih hidup, mereka
berdua dijuluki sepasang suami istri yang baik hati. Acil Midah dan suaminya
selalu membantu orang yang membutuhkan pertolongan mereka. Tapi resiko yang
dihadapi Acil Midah dan suaminya cukup berbahaya. Setelah beberapa kali
berhasil menggagalkan santet, pernah di malam yang senyap, sebuah cahaya terang
melesat dan masuk ke rumah Acil Midah. Orang-orang yang kebetulan melihat
cahaya itu dari kejauhan, menganggapnya sebagai bintang jatuh. Tapi di rumah
Acil Midah, sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Dengan tubuh yang membiru
pucat, nyawa suaminya meregang malam itu juga. Ketika Acil Midah meminta
bantuan untuk menguburkan mayat suaminya, orang-orang mulai sadar apa yang
telah terjadi dengan suami Acil Midah. Pasti akibat santet, begitu orang-orang
menyimpulkannya.
“Untuk apa kuyang
mendatangi setiap orang yang akan melahirkan? Lebih realistis menjadi maling
atau rampok. Tujuan mereka jelas.”
Acil Midah tertawa keras hingga terbatuk-batuk. Sebelum menjawab,
ia mengambil daun sirih dalam bungkusan plastik. Irham baru tahu kalau Acil
Midah saat ini suka menginang. Daun sirih itu dicampurnya dengan kapur
dan pecahan biji pinang.
“Aku mulai menginang sejak suamiku meninggal. Awalnya
memang terasa pahit, tapi sekarang enak sekali. Untuk gigiku ini, agar tidak
keropos. Toh, aku memutuskan tidak ingin menikah lagi. Jadi tidak perlu
khawatir ada seorang lelaki yang terganggu saat mencium bibirku,” ucap Acil
Midah dengan tawa terbahak bahak. Irham tersenyum. Acil Midah memang teman
bicara yang menyenangkan. Kadang serius, kadang juga lucu.
“Banyak alasan kenapa orang menjadi kuyang. Kapan-kapan aku
ceritakan semuanya kepadamu. Tapi kebanyakan mereka menggunakannya agar
terlihat cantik. Tujuannya sama ketika orang-orang menggunakan susuk.”
“Ternyata banyak juga yang belum kuketahui,” kata Irham.
“Itu karena dulu kau lebih suka ilmu kekebalan dan ilmu untuk
mendapatkan perempuan. Semoga saja istri yang kau dapatkan itu bukan karena
pelet,” ledek Acil Midah.
Giliran tawa Irham meledak, “Tentu saja, tidak. Bahkan semua yang
pernah Acil Midah ajarkan, tidak lagi kuamalkan.”
“Kenapa?” selidik Acil Midah.
“Jika kukatakan, pasti Acil Midah akan meledekku.”
“Karena kau lulusan pesantren?”
“Ya. Aku diajarkan untuk tidak lagi mempercayai hal-hal seperti
itu.”
Acil Midah menganggukkan kepalanya. “Tapi untuk kali, kau harus
mengikatkan benang hitam itu ke jempol kaki istrimu.”
Irham tidak menjawab. Bahkan tadi ia sempat berpikir akan membuang
benang hitam itu sesampainya di rumah. Ia menemui Acil Midah hanya untuk
silaturahmi. Bagaimana pun, Acil Midah adalah kakak dari ibu kandungnya
sendiri. “Aku kemari juga ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin mewarisi ilmu-ilmu
seperti yang Acil Midah miliki.”
“Dua belas tahun adalah waktu yang panjang untukmu berpikir.
Apalagi kau lulusan pesantren. Tentu saja kau menolak ilmu yang sudah
mentradisi di keluarga kita. Tapi secara garis keturunan, kau berhak atas semua
ilmu-ilmu itu.”
“Bagaimana jika aku tidak mau?”
“Aku senang dengan pendirianmu. Dulu, aku juga begitu. Tapi kepada
siapa lagi orang akan meminta bantuan jika tidak ada yang mewarisinya?”
Irham tidak ingin berdebat malam ini. “Bagaimana jika kita bicarakan
nanti saja. Aku harus pulang sekarang, istriku pasti sedang menunggu.”
Acil Midah tersenyum. “Tunggu sebentar,” Acil Midah masuk ke dalam
kamar. Ia kembali membawa sebatang kayu yang bentuknya seperti tongkat. “Aku
ingin mewariskan ini kepadamu. Simpanlah. Siapa tahu kau membutuhkannya. Juga
tali haduk ini, agar kau tidak repot membelinya.”
“Untuk apa tongkat ini?”
“Itu terbuat dari kayu Palawan. Ampuh sekali untuk
mengalahkan kuyang. Pukul saja di bagian kepala, ia tidak akan bisa melarikan
diri,” jawab Acil Midah.
Berat hati Irham menerima pemberian Acil Midah. Bukankah semua
benda yang dulu diberikan Acil Midah juga sudah ia bakar?
***
Sambil memegangi perut yang sudah besar, perempuan itu tak sabar
menunggu suaminya pulang. Ia menyesal mengijinkan suaminya berangkat ke rumah
Acil Midah. Pikirannya selalu terbayang-bayang dengan kejadian empat hari yang
lalu. Seorang perempuan meninggal dunia saat melahirkan. Seandainya peristiwa
itu tidak terjadi di samping rumahnya, mungkin Tanti tidak perlu cemas. Ia
kembali mengelus perutnya. Suara longlongan anjing di luar sana membuat Tanti
semakin gelisah. Meski dokter mengatakan jabang bayinya akan lahir dua minggu
lagi, bukan berarti tidak mungkin lahir malam ini.
Perlahan Tanti mengedarkan pandangannya ke bagian pintu dan
jendela. Meski sudah terkunci, tetap saja Tanti tidak bisa menghilangkan rasa
takutnya. Orang-orang bilang, kuyang akan masuk melalui celah lobang angin yang
ada di atas pintu atau jendela. Tanti semakin cemas, apalagi sejak sore,
perutnya terasa mules. Namun, dari kejauhan terdengar motor. Tanti berharap itu
milik suaminya. Ia segera mengintip ke balik korden. Dugaannya tidak salah.
Tanti langsung mengambil kunci pintu rumah yang tersimpan di balik kantong
daster. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lega.
“Mulai besok, aku tidak ingin tinggal sendirian di rumah,” ketus
Tanti mengucapkannya.
Irham menoleh, “Wajahmu pucat?”
Tanti menghindari tatapan suaminya. “Aku hanya mengantuk.
Bagaimana kabar Acil Midah?”
“Baik. Dia titip salam untukmu.”
“Hanya itu?” selidik Tanti.
“Sebentar lagi kau melahirkan. Kata dokter, lebih baik kau banyak
istirahat dan tidak terlalu tegang.”
“Semua dokter akan bilang begitu. Seandainya tidak terjadi
peristiwa kemaren, aku pasti siap menghadapinya.”
“Kita serahkan saja semua urusan ini kepada Allah.”
“Maksudku, apa kita tidak boleh berikhtiar disamping tetap memohon
keselamatan kepada Allah?”
Irham tahu maksud ucapan istrinya. Apalagi ia baru saja datang
dari rumah Acil Midah. “Ia memberikan ini kepadaku,” Irham mengeluarkan tongkat
kayu Palawan yang masih tersimpan di balik jaketnya. “Ia bilang, ini bisa
mengalahkan kuyang.”
“Apa hanya itu yang diberikan Acil Midah?” selidik Tanti. Ia
yakin, masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya. Apalagi akhir-akhir
ini banyak saran agar Tanti juga membentangkan tali haduk di sekeliling rumah.
Irham berusaha menenangkan, ia rangkul bahu istrinya. “Aku nikahi
kau, karena imanmu. Inilah saat-saat iman kita diuji oleh Allah,” kata Irham.
Tanti memperhatikan wajah suaminya, “Aku hanya khawatir terjadi
sesuatu dengan si jabang bayi,” Tanti mngelus perutnya. “Aku juga belum cerita
kalau tadi sore tak sengaja menginjak kelabang di kamar mandi. Reflek aku
terkejut lantas membunuhnya dengan sapu lantai,” kata Tanti menceritakan akibat
dari perbuatannya itu. Sejak masih remaja, Tanti sering mendengar cerita bahwa
orang hamil tidak boleh membunuh binatang atau mengucapkan kat-kata yang tidak
baik. Biasanya perbutan itu kan berimbas dengan keselamatan si jabang bayi.
“Lupakan saja tentang itu. Yang aku khawatirkan justru kau
terkejut dan terpleset. Itu kan membahayakan jabang bayi dan juga dirimu,”
jawab suaminya. “Besok aku akan menutup saluran pembuangan air dengan kawat
nyamuk. Sekarang kita tidur saja.”
Dibantu suaminya, perlahan Tanti merebahkan tubuhnya ke kasur.
Detik demi detik terus berjalan. Tanti belum juga bisa memejamkan matanya. Ia
menoleh ke samping, suaminya sudah terlelap. Tanti membenahi selimutnya hingga
menutupi bagian leher. Lolongan anjing itu mulai lagi. Meski jauh, Tanti bisa
mendengarnya dengan jelas. Juga cericit burung di malam hari. Ia pernah melihat
burung itu ketika di jalanan gelap. Saat itu ia bersama suaminya pulang dari dokter
praktik. Mata burung itu sangat tajam, seperti mata kucing ketika terkena sinar
lampu. Banyak orang mengatakan, burung itu hanya bisa ditemui saat malam tiba.
Ia akan bersuara jika sedang melihat seseorang. Tanti masih belum bisa
memejamkan matanya. Suara burung itu juga belum berhenti. Longlongan anjing
terdengar semakin memanjang. Rasa takut itu datang lagi. Bagaimana jika diluar
sana ada seseorang yang mengintai bakal lahirnya si jabang bayi?
Apa boleh buat, Tanti membangunkan suaminya. Tapi bukan karena
takut, perutnya semakin bertambah sakit. “Sakit sekali,” rintih Tanti dengan
mulut yang meringis.
“Apa mungkin malam ini?” Irham mengira-ngira.
Tanti mencengkram tepi ranjang. Irham kemudian beranjak keluar,
tapi Tanti mencengkram pergelangan tangan tangannya. “Mau kemana? Aku takut
kalau kau tinggal sendiri?”
“Aku siapkan sepeda motor dan kita pergi ke rumah sakit,” jawab
Irham panik.
“Aku tidak kuat lagi. Kau panggil saja bidan kampung.”
Irham berusaha mengingat bidan kampung yang dimaksud istrinya,
“Masitah yang rumahnya di ujung jalan itu?”
“Siapa lagi kalau bukan dia!” bentak Tanti tidak tahan merasakan
sakit yang melilit.
Irham langsung mengambil jaket. Sambil melangkahkan kakinya, Irham
teringat dengan benang hitam yang diberikan Acil Midah. Ia merogoh kantong
celana. Ada perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Irham mulai mengkhawatirkan
istri dan si jabang bayi. Bagaimana jika kuyang datang malam ini? Sebenarnya
masih ada waktu bagi Irham untuk mengikuti perintah Acil Midah. Apa susahnya
sekedar mengikatkan benang ke jempol kaki istrinya? Toh, tadi istrinya juga
menginginkan benang itu. Sungguh, Irham tidak tega melihat wajah istrinya yang
diliputi rasa sakit dan ketakutan. Tapi Irham ragu melakukannya. Bagaimana jika
malam ini adalah terakhir kali ia bersama istrinya?
***
Mobil ambulan itu belum juga datang. Irham terus memohon
keselamatan kepada Allah. Tadi, Masitah si bidan kampung itu mengatakan bahwa
istrinya mengalami pendarahan. Irham langsung menghubungi rumah sakit untuk
segera datang menjemput istrinya.
“Sebaiknya kau tunggu di luar. Sediakan air hangat dalam baskom
untuk membersihkan tanganku ini. Kau lihat, banyak sekali darahnya. Coba kau
usahakan cari pinjaman mobil. Aku khawatir ambulan datang terlambat. Sambil
menunggu, aku akan berusaha menghentikan pendarahan istrimu,” ucap Masitah.
Irham tidak tega meninggalkan istrinya sendirian, tapi bidan kampuyng
itu benar. Kenapa sejak tadi aia tidak memikirkannya? Irham benar-benar panik,
kalut dan bingung. Apalagi mendadak seperti ini. Ia segera pergi untuk mencari
pinjaman mobil. Di dalam kamar, Masitah melanjutkan pekerjaannya.
“Bodoh!” ucap Masitah dengan senyum yang menyeringai. Ia pandangi
Tanti yang masih berjuang menahan rasa sakit. Masitah menghirup napas
dalam-dalam. Ia resapi aroma wangi yang menyeruap dari darah yang kental
melekat di jari tangannya. Masitah menjulurkan lidah, ia jilati darah itu
hingga habis.
Tanti ngeri melihat ulah Masitah. “Apa yang kau lakukan?”
“Sebentar lagi kau akan tahu,” jawab Masitah dengan senyum yang
mengerikan.
Tanti berusaha menyandarkan tubuhnya ke didnding, menjauhi Masitah
yang mulai memegangi kakinya.
“Jangan takut, aku justru akan membantu menghilangkan rasa sakitmu
itu,” pinta Masitah.
“Jangann…jangannn!” teriak Tanti meraih bantal dan melemparkannya
ke wajah masitah. Tanti juga melemparkan tasbih yang ia temukan di bawah
bantal.
Masitah mengerang kesakitan
ketika tasbih itu mengenai wajahnya. “Kurang ajar, kau belum tahu siapa aku
sebenarnya.” Masitah mengolesi lehernya dengan minyak yang ia bawa. Tanti
histeris melihat leher itu bisa memisah dari badan Masitah.
“Tolong, tolongg, Irhammm, Irhammm!” Teriak Tanti sekuaat tenaga.
Di luar, orang-orang terbangun mendengar teriakan Tanti. Irham
datang bersama mobil yang ia pinjam. Irham tergesa-gesa, ia hempaskan pintu
mobil dengan keras. Suara pintu itu terdengar hingga ke dalam rumah dan
mengejutkan Masitah yang telah berubah menjadi kuyang. Kepalanya terbang
mengitari seisi kamar. Ia menyadari kehadiran seseorang di luar sana. Irham
gagal membuka pintu rumah, padahal tadi ia tidak menguncinya, bahkan pintu
rumah itu dibiarkan tetap terbuka.
“Tolonnngg, tolonggg. Ada kuyang, ada kuyang!” teriak Tanti
Orang-orang tekejut mendengar teriakan itu. Irham mengambil
ancang-ancang dan mendobrak pintu rumahnya dari luar. Pintu itu terhempas dan
membentur ke dinding dengan sangat keras. Orang-orang di luar sana sudah
berkumpul dan memberikan bantuan kepada Irham.
“Hei, kuyang. Jangan ganggu sitriku!” bentak Irham. “Di mana
Masitah?” Irham belum mengenali siapa kuyang sebenarnya. “Masitah, Masitah…,”
teriak Irham.
Kuyang itu meringis. Rambut panjangnya terurai ke depan.
Orang-orang ngeri melihat sosok kuyang itu. Baru pertama kali ini mereka
menyaksikannya langsung. Saat kepala kuyang itu terbang mendekati Tanti,
keberaniannya timbul untuk meraih usus yang berseliweran di atas wajahnya.
Sambil berteriak, Tanti menariknya sekuat tenaga. Kuyang itu jatuh terjerembab.
Orang-orang segera meringkusnya.
“Periksa semua bagian rumah ini, cari tubuhnya!” teriak mereka. Orang-orang
kemudian mencari tubuh kuyang itu. Akhirnya mereka temukan di dalam lemari
pakaian.
“Aku takut,” Tanti menangis dalam pelukan Irham.
“Sudahlah, kita ke rumah sakit sekarang,” Irham membopong
istrinya. Mobil yang mereka tumpangi segera menuju rumah sakit. Diperjalanan,
Irham merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan benang hitam dan membuangnya ke
jalan.
*Ditulis
oleh : Harie Insani Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar