“Sebelum peristiwa malam itu yang akan
kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk
kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada
orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku.
Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga
aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan
lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang
hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap
melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak menemukan
makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman
sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan
dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian.
”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku
menirukan ucapannya.
Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan
almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal
sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil,
mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya
meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat
melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap
sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya,
Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan
bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi,
tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai
berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di
dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing
yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain
hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh
yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari
lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih
bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang
obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah
hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah
dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan,
dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri,
keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang
bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan
untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar.
Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai.
Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos,
hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit
tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan
terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua
telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa
duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti
mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang,
yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu
mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang
Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi
pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah.
Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang
mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti.
Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak
tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut
susut.
Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian.
Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang.
Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus
langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang.
Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal
tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk
seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala
sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di
belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah
kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.
Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu
seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering
layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang
terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya
kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga
sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang
tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan
pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi
tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah
seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang
menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan
keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan
gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya
dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang
menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan
yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit.
Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di
tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para
balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan,
telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup
matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai.
Tiga balian masih menari beriringan,
berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi.
Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata
terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut
terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan
minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala
perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang
menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran
upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang
membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera
penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai
memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh
gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba
menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra
yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting
gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir,
terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu
yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari,
merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang
kurus panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan
perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur
ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak
lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak
seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering
layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air
kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning
kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya,
yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan
namun jelas.
Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan,
mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya.
”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan
mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan
perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri
di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap
dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut
panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas
diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik
balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu.
Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak
pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling
tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki.
Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda
yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi,
merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang
perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian.
Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki
yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat
mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,”
sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,”
timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap,
”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti,
hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena
perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki
tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.”
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari
lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu
menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum
bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum
matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk
menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan meninggalkan kampung di
pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang
Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang
bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku
tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah
perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
*) Kutipan ”Syair
Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna
Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.
*Ditulis oleh : Sandi Firly
Sumber tulisan : https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/06/24/perempuan-balian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar