Rabu, 16 November 2016

Opini Pendidikan “Pesantren Bukan Bengkel Pendidikan Akhlak”



“Pesantren Bukan Bengkel Pendidikan Akhlak”*

Telinga kita tentunya tidak asing lagi mendengar kalimat yang sering diucapkan oleh beberapa orang tua yang menyatakan bahwa jika memiliki anak yang nakalnya minta ampun alias kelewat batas maka masukkan saja ke pesantren biar akhlaknya bisa membaik dan kenakalannya hilang. Pernyataan seperti ini nampaknya sudah membudaya dan berakar kuat di lingkungan masyarakat kita. Jika memiliki anak yang nakal secara spontan akan berniat memasukkan anaknya ke pendidikan yang berbasiskan agama atau dikenal dengan pesantren. Sebaliknya sangat jarang terjadi ada orang tua yang secara sadar memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan agar anaknya memperoleh pengetahuan agama lebih dalam yang nantinya bisa menjadi bekal si anak untuk menapaki jalan kehidupan dimasa yang akan datang.
Pola pikir semacam ini adalah pola pikir yang salah. Pesantren bukanlah sebuah bengkel yang bertugas memperbaiki akhlak anak yang sudah rusak. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berbasiskan agama. Fungsi mereka sama seperti lembaga pendidikan formal lainnya yaitu mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik akhlak santri santriwatinya.
Tapi tentunya makna mendidik itu akan berbeda dengan memperbaiki. Makna mendidik lebih menitikberatkan bagaimana cara menyampaikan dan mengajarkan serta memberikan contoh suri teladan seperti apa akhlak yang yang baik terhadap semua makhluk Tuhan, sedangkan memperbaiki mengandung makna membuat baik sesuatu yang sudah rusak, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah memperbaiki akhlak seorang anak yang sudah rusak. Mendidik adalah sesuatu yang berat untuk dilaksanakan apalagi memperbaiki.
Akibat pola pikir yang salah ini membuat pengaruh yang besar terhadap kondisi pesantren tersebut, terutama terhadap lingkungannya dan Out Put yang dihasilkan. Pesantren akan menjadi tempat terkumpulnya anak nakal. Bahkan tidak sedikit orang beranggapan bahwa lulusan pesantren tidak menjamin akhlak santri maupun santriwatinya setelah keluar dari pesantren menjadi lebih baik, bahkan bisa lebih buruk dari akhlak siswa siswi yang lulus dari sekolah formal biasa. Banyak kejadian yang membuat kita prihatin. Misalnya saja ada sekelompok santriwati yang kedapatan lagi asik bersuka ria di karaoke. Ada sekelompok santri yang sedang asik merokok atau asik bermain kartu, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang membuat nama pesantren menjadi negatif di mata masyarakat.
Hal demikian bisa terjadi dikarenakan pesantren menjadi tempat para orang tua untuk memperbaiki akhlak anak-anak mereka yang sudah rusak, padahal pesantren bukanlah sebuah bengkel pendidikan akhlak. Oleh karena itu jangan salahkan pesantrennya, tapi salahkanlah diri kita sendiri yang beranggapan bahwa pesantren adalah bengkel pendidikan akhlak.
Untuk menghilangkan citra negatif yang diterima pesantren-pesantren tersebut hanya ada satu cara yaitu merubah pola pikir masyarakat yang dulunya hanya akan memasukkan anaknya ke pesantren jika akhlak anaknya sudah rusak menjadi pola pikir yang lebih positif yaitu secara sadar memasukkan anaknya untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang berwawasan agama dan berwawasan akhlak.
           Tidak mudah memang merubah pola pikir tersebut. Masyarakat harus diajak berpikir dalam dan diajak memainkan logika mereka. Jika mereka mau secara sadar memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dari lembaga pendidikan formal lainnya maka insya Allah Out Put yang dihasilkan pesantren juga akan mampu bersaing dengan Out Put dari pendidikan formal lainnya, bahkan akan banyak prestasi-prestasi yang mampu mereka peroleh. Jika pola pikir yang positif ini sudah bisa membudaya dan berakar di lingkungan masyarakat maka pelan tapi pasti citra negatif pesantren akan berubah positif. 
 
*Tulisan ini hanya pendapat pribadi, pasti akan berbeda dengan pendapat individu lainnya.
 
Banjarbaru, 17 Nopember 2016
Asrani, S.Pd.I 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar