Rabu, 23 November 2016

Cerpen dengan judul "Hantu Suluh"



“Hantu Suluh”*

Tahun 1990, ku putar kembali waktu ke masa itu. Umurku baru lima belas tahun, masih duduk di bangku SMA kelas 1. Aku tinggal di sebuah kampung yang pada saat itu penerangan yang digunakan di rumah masih menggunakan lampu minyak tanah. Tidak ada listrik seperti di kota. Banyaknya pepohonan besar yang tumbuh dan paring yang berjejer membuat suasana kampungku gelap gulita dan menyeramkan bagi sebagian orang.
Kampungku juga dikelilingi hamparan sawah yang ditanami banih. Banih yang banyak ditanam adalah banih tahun yang masa penanamannya tergantung dari musim hujan atau yang dikenal dengan tadah hujan. Bertani memang mata pencarian utama penduduk di kampungku. Akan tetapi pada saat-saat tertentu khususnya saat musim memuntal dimana pada saat itu ikan-ikan di persawahan sudah berkembang biak, sudah mulai besar-besar terutama ikan haruan, masyarakat kampungku termasuk aku sendiri biasanya mencari ikan untuk keperluan lauk sehari-hari, jika mendapatkan lebih ikannya akan kami jual ke orang-orang yang memerlukannya.
Kegiatan menangkap ikan tersebut dinamakan dengan menyuar, yaitu menangkap ikan pada malam hari dengan bantuan lampu minyak tanah. Lampu minyak tanah tersebut dipasangi telabang sebagai pengumpul dan sekaligus pemantul sinar lampu agar bisa melihat ikan di dalam air di persawahan. Selain itu,  juga digunakan alat tambahan yang dinamakan jambih dan bakul purun.
Sore itu aku dengan dua orang temanku Aman dan Irul bercakap-cakap dan merencanakan malam nanti untuk pergi menyuar bersama-sama.
Malam pun tiba. Setelah sholat isya aku bersiap-siap dengan menyalakan lampu suar dan menyediakan jambih serta bakul purun. Tidak lupa ku nyalakan obat nyamuk bakar yang ku ikatkan di gagang lampu suar.
Belum lagi aku sempat melangkahkan kakiku keluar rumah, tiba-tiba ayahku dengan suara serak memanggilku dan berkata “mau kemana kamu pergi nak? ini malam jum’at”. “Aku mau pergi menyuar bah” sahutku. Abah adalah panggilanku kepada ayahku. “Memangnya kenapa bah dengan malam jum’at?” tanyaku bersemangat. “Kata orang bahari pamali nak menyuar malam jum’at, bisa ketemu hantu suluh”. Mendengar kata hantu merinding juga aku jadinya. “Ah, itu cuma mitos aja bah” sahutku, “lagian aku menyuar tidak sendirian kok bah, Aman dan Irul juga ikut menyuar” sahutku lagi. “Iya, terserah kamu aja, tapi jangan jauh-jauh dan jangan ke arah tambak yang ada di tengah persawahan sana, tempatnya angker” kata ayahku lagi. “Iya bah” sahutku santai sambil berlalu pergi keluar rumah menuju persawahan.
Sekitar jam Sembilan malam Aman dan Irul sudah menungguku di persawahan depan rumahku.
Satu jam sudah kami menyuar bersama-sama, jarak kami masih berdekatan, mungkin sekitar lima puluh meter saja jarak antara kami bertiga. Aku semakin asik menangkap ikan, sangat banyak ikan yang ku temukan mana besar-besar lagi ikan haruannya. Langkah demi langkah kakiku terus berjalan menyusuri rumpunan banih yang di kiri kanannya terhampar puntalan rumput yang mulai membusuk. Tanpa terasa aku semakin jauh dari tempat Aman dan Irul menyuar, dan akhirnya tampa sadar cahaya lampu suar mereka sudah tidak kelihatan lagi seakan-akan ditelan oleh gelapnya malam.
Aku terbelalak, tanpa ku sadari ternyata didepanku adalah tambak yang diceritakan ayahku sebelum aku berangkat tadi. Mataku tak berkedip menatap pulau kecil tersebut, ternyata benar tempat yang angker. Nampak dimataku tambak tersebut seperti beberapa raksasa yang sedang berdiri dan memandangiku, hitam legam dipekatnya malam yang samar-samar kelihatan oleh cahaya lampu suar ku. Setelah secara seksama kupandangi ternyata hanya kumpulan beberapa pohon besar yang menjulang tinggi dan berdiri kokoh, sekokoh monas yang ada di Ibu Kota Indonesia ini yaitu Jakarta.
Aku merinding dibuatnya dan akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, toh aku sudah dapat banyak ikan pikirku.
Yang membuat jantungku berdetak cepat adalah aku lupa ke arah mana aku harus melangkahkan kaki agar aku tidak tersesat menuju rumah. Aku benar-benar lupa, seakan-akan ingatanku hilang terbawa angin malam yang berhembus dingin yang membuat suasana semakin angker.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat seberkas cahaya lampu. Aku berujar dalam hati, “itu pasti cahaya lampu dari temanku Aman”. Aku menuju mendekat ke arahnya dan ku panggil namanya “Man…Aman” suaraku bergetar memanggilnya. Sayup-sayup ku dengar suara menyahut panggilanku “ui”. “Kita bulikan yu Man” ajakku, “Ayo, iringi aku” sahutnya dari kejauhan.
Aku terus mengikuti cahaya lampu tersebut, tapi kakiku mulai terasa letih. “Kenapa belum juga sampai, sudah satu jam lebih aku berjalan mengikuti Aman tapi kumpulan rumah penduduk masih belum nampak” gumamku. Lama dan terasa semakin lama, kakiku sudah teramat letih dan mulai tertatih-tatih berjalan mengikuti cahaya lampu tersebut.
Dengan langkah tertatih-tatih aku akhirnya tidak sanggup lagi berjalan untuk mengikuti cahaya lampu tersebut, untungnya kulihat ada gundukan tanah yang ditanami beberapa pohon pisang. Aku singgah, dan duduk beristirahat menyender dibatang pisang tersebut ditemani oleh lampu suar ku yang mulai redup karena minyaknya sudah hampir habis, serta hembusan angin malam yang terasa bagaikan es menusuk sampai ke tulang karena bercampur dengan embun yang mulai turun menyapa hamparan banih. “Mungkin sudah jam tiga malam lewat” gumamku lagi dalam hati.
Dengan tubuh menggigil kedinginan batinku berujar “jangan-jangan cahaya lampu yang ku ikuti tadi bukan cahaya lampu suar Aman, melainkan cahaya lampu dari Hantu Suluh”. Sebelum aku berangkat tadi ayahku menceritakan tentang hantu suluh tersebut, beliau juga mengatakan bahwa hantu suluh itu bisa membuat kita tersesat, dia bisa berpura-pura seperti teman kita sehingga kita akan mengikutinya, padahal kita dibawanya berputar-putar saja sekitar tempat tersebut sampai kita kelelahan.
Badan dan kakiku terasa sangat lelah dan penat, mataku pun sudah sangat berat ingin terpejam. Akhirnya aku tertidur dengan diselimuti embun pagi yang turun menyapa hamparan banih yang menghijau.
Aku tersentak kaget, ada percikan air mengenai mukaku. Saat mataku terbuka kulihat puluhan orang berdiri dihadapanku, diantaranya adalah temanku Aman dan Irul serta orang yang tidak asing lagi bagiku, yaitu ayahku. “Kenapa kamu tidak pulang nak? malah tidur disini, ayah dan ibumu sangat khawatir. Akhirnya ayah mendatangi Aman dan Irul, tapi mereka juga tidak tahu dan mengira kamu sudah pulang. Akhirnya kami sepakat untuk mencarimu di persawahan ini” kata ayahku. “Aku juga tidak tau bah, padahal aku sudah menuju rumah dengan mengikuti cahaya lampu yang aku kira itu Aman” sahutku. “Lalu kakiku sudah teramat letih berjalan, dan tidak kuat lagi. Akhirnya aku terduduk disini, kemudian tertidur karena saking lelah dan mengantuknya aku” sahutku lagi. Akhirnya aku dibawa pulang dengan dipapah oleh ayahku. Sesampainya di rumah ayahku menasehatiku “makanya nak, kalau ayah bilang pamali itu kamu jangan menentang. Kamu tadi malam pasti bertemu dengan hantu suluh, makanya kamu tersesat dan tidak menemukan jalan pulang ke rumah”. “ Iya bah, maafkan aku. Aku tidak akan menentang kata Abah lagi”.


Makna kata yang bercetak miring :

Paring                  : bambu
Banih                   : padi
Memuntal            : kegiatan mengumpulkan rumput yang sudah di potong-potong kemudian digulung sebesar bantal
Haruan                 : ikan gabus
Manyuar              : kegiatan mencari ikan dimalam hari dengan menggunakan lampu sebgai sumber cahaya
Jambih                 : alat menangkap ikan yang terbuat dari anyaman bilah bamboo
Bakul purun         : wadah serbaguna yang terbuat dari anyaman tanaman purun
Pamali                  : sesuatu yang tabu atau dilarang untuk dilakukan
Bahari                  : zaman dahulu
Puntalan              : rumput yang digulung
Tambak               : pulau kecil ditengah sawah
Ui                        : iya
Bulikan                : pulang
Iringi                    : ikuti
Suar                     : lampu yang memakai telabang
Telabang              : alat pengumpul dan pemantul cahaya lampu minyak tanah
Hantu suluh          : makhluk gaib yang menyerupai cahaya lampu


*Ditulis dalam rangka belajar nulis cerpen, alhamdulillah saat itu banyak dapat koreksi dan jadi pembelajaran berharga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar