Sabtu, 12 November 2016

Cerpen "Anak Bajang"



“Anak Bajang”

Mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata) merupakan salah satu mata kuliah semester akhir yang wajib kami ambil selain skripsi. Aku kulian di IAIN    ( Institut Agama Islam Negeri ) Antasari Banjarmasin Kalimantan Selatan angkatan 1995.
Pada tahun 2000 aku mengambil mata kuliah tersebut, pelaksanaannya selama dua bulan di sebuah desa yang nun jauh disana, tepatnya di desa Simpang Nadong Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan. Secara geografis desa Simpang Nadong terletak di kaki gunung Meratus, berbatasan dengan desa-desa yang dihuni oleh masyarakat dayak meratus. Penerangan disana masih menggunakan lampu teplok atau lampu dengan minyak tanah sebagai sumber energinya.
Perjalanan menuju lokasi desa tersebut ditempuh kurang lebih tujuh jam dari kota Banjarmasin, perjalanan yang melelahkan, apalagi buat aku yang notabene jarang melakukan perjalanan yang jauh tentunya menguras energi yang banyak. Pemandangan disisi kanan dan kiri menuju desa memang menyajikan pemandangan yang menyejukkan mata, pepohonan yang besar-besar menyediakan oksigen yang melimpah sehingga udaranya terasa sejuk dan menyegarkan, tapi sekaligus juga menyajikan kengerian karena juga nampak jurang di sisi jalan yang kami lalui yang sekan-akan siap menelan mobil yang kami tumpangi sewaktu-waktu.
Dalam perjalanan pikiranku terbang tinggi melayang, setinggi layang-layang yang ditiup angin dan melenggak-lenggok di angkasa, menari-nari dengan lincah. “Hemm, ternyata disini belum ada penerangan dari PLN, sinyal telpon seluler apalagi” gumamku dalam hati. “Sanggupkah aku dan teman-temanku untuk bersosisialisasi di desa tempat kami nanti di tugaskan” pikirku.
Aku KKN memang tidak sendirian, kami berempat. Temanku yang lainnnya ada satu orang laki-laki namanya Badar, dan dua orang perempuan yaitu Fitri dan Zainab.
Aku tersentak, lamunanku hilang seketika melayang terbang dibawa hembusan angin yang menerpa wajahku. “Apa yang dilamunkan?” tanya Badar kepadaku. “Ah, tidak ada Dar” jawabku. “Oh iya, kita sudah berada di daerah mana?” tanyaku. “Sudah sampai di desa Tebing Tinggi” jawab Badar. “Setelah melewati dua desa lagi kata sopir kita akan sampai di desa Simpang Nadong” sahutnya lagi.”Oh, sudah dekat rupanya” kataku.
Dua puluh menit kemudian sampailah kami ke desa Tujuan. Kami disambut langsung oleh Pambakal desa tersebut. Pak Ruslan namanya, beliau sangat ramah, dan nampaknya termasuk orang yang berpendidikan, padahal aku sering dengar cerita kalau pambakal-pambakal di daerah desa terpencil biasanya orang yang sangar, dan jagau.
“Ayo adik-adik mahasiswa, kita ke rumah saya” ucapnya. “Iya pak” sahut kami kompak sekompak paduan suara yang sering aku lihat di televisi. Beberapa saat kemudian sampailah kami di rumah Pak Ruslan. Ternyata rumah beliau lumayan besar, beliau ternyata orang kaya di desa ini. Selentingan kabar yang aku dengar beliau adalah salah satu pemilik kebun karet yang terbanyak di desa Simpang Nadong ini, dan seperti dugaanku tadi ternyata benar beliau termasuk orang yang berpendidikan. Ternyata beliau pernah mondok di pesantren yang terkenal di daerah Bangil Jawa Timur.
Hari sudah menjelang sore saat itu. “Malam ini kalian boleh menginap di rumah saya” ucap pak Ruslan kepada kami. “Itu ada kamar kosong satu, biar itu digunakan untuk perempuan, yang laki-laki nanti tidur di ruang tengah saja ya” ucapnya lagi. Kami mengangguk tanda setuju. “Untuk hari-hari berikutnya kalian boleh menggunakan rumah dinas yang pernah digunakan oleh Mantri yang sempat ditugaskan di desa sini” beliau kembali berujar.
Malam itu kami beristirahat di rumah Pak Ruslan. jam dinding sudah menunjukkan jam sepuluh, suasana malam di desa tersebut sangat sepi. Teman perempuan kami sudah masuk kamar untuk beristirahat, maklum perjalanan selama tujuh jam sangat melelahkan. Di ruang tengah aku dan Badar masih mengobrol, ditemani anak laki-laki pak Ruslan yang sudah mulai menginjak dewasa, sekitar 16 tahun umurnya.
Pian-pian tahu lah, di desa kami ini suasananya masih sangat mistis” Ahmad anak pak Ruslan memulai pembicaraan. “Oh begitu” sahutku. “Di ujung desa sana, mungkin pian tadi terlewati saat dalam perjalanan ke sini, ada pohon kariwaya yang sangat besar, angker, banyak hantunya” cakap Ahmad lagi. Aku tersenyum, karena aku terbiasa hidup di daerah perkotaan dan tidak pernah mengalami hal-hal yang aneh atau gaib, maka pikirku apa yang dikatakan Ahmad ya sekedar isapan jempol belaka. “Mana ada jaman sekarang hantu” pikirku.
Kami masih asik mengobrol ditemani lampu teplok yang redup, se redup suasana desa yang tanpa penerangan diluar sana, hanya suara-suara asing yang terdengar di kejauhan. Tidak berapa lama kemudian Badar dan Ahmad merasa mengantuk, dan mereka bersiap untuk istirahat tidur. Sebelum tidur Ahmad masih sempat berujar kepadaku “hati-hati ya Kak, jika pian mendengar suara yang aneh-aneh diluar sana jangan takut, paling itu suara hantu” katanya sambil cengengesan dan lalu merebahkan diri untuk tidur.
Sesaat kemudian suara dengkuran dari kedua anak manusia tersebut membahana di ruang tengah ini. Suaranya menambah suasana temaram malam itu makin terasa menyeramkan. Entah kenapa aku tiba-tiba saja merinding, ada rasa takut yang mulai menggerogoti perasaanku. Ternyata benar kata Ahmad, suasana desa Simpang Nadong ini memang masih mistis. Sayup-sayup ku dengar dari kejauhan suara lolongan anjing hutan yang serasa menyayat ulu hati.
Tiba-tiba aku tersentak kaget, jantungku seakan-akan mau copot. Ku dengar ada suara seperti suatu benda besar jatuh ke sungai. Di luar sana sekitar  kurang lebih lima puluh meter dari rumah pak Ruslan tempat kami menginap memang terdapat sebuah sungai.
Dalam kondisi merinding dan ada rasa takut, aku cuma bisa terdiam. Tiba-tiba tubuhku tidak bisa bergerak, terasa kaku, seakan-akan ada makhluk besar menindih tubuhku. Dengan segenap kesadaran yang aku miliki, aku mencoba meronta dan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang aku hapal. Akhirnya aku merasa sudah terbebas dari tindihan makhluk besar tadi. Aku lalu mengucap istighfar, dan berdoa kepada Allah agar tidak diganggu oleh makhluk besar itu lagi. Akhirnya aku bisa tertidur juga karena memang malam sudah sangat larut, mataku sudah teramat berat.
Keesokan harinya saat bangun subuh, aku tidak menceritakaan kejadian malam tadi kepada teman-temanku yang lain. “Biar aku saja yang tahu” pikirku. Siang itu kami di ajak berkeliling desa oleh pak Ruslan, kami dikenalkan dengan tokoh-tokoh desa setempat, dikenalkan dengan lingkungan sekitar desa, dan ternyata beliau juga mengajak kami ke tempat yang diceritakan Ahmad tadi malam yaitu tempat tumbuhnya pohon kariwaya yang sangat besar. “Ternyata ini toh pohon kariwaya yang diceritakan Ahmad, banyak kuburan rupanya di bawah pohon ini” gumamku dalam hati.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah pak Ruslan, beliau juga menunjukkan rumah dinas mantri yang nantinya akan kami tempati. Ku lihat ternyata dibelakang rumah dinas tersebut juga terdapat kuburan penduduk setempat.
“Nanti sore kalian sudah bisa menempati rumah dinas ini” kata pak Ruslan. “Ahmad anak saya nanti yang akan membantu kalian membenahi tempat ini” katanya lagi kepada kami.
Sore itu ditemani Ahmad, kami menuju rumah dinas yang akan kami tempati. Sesampainya disana aku melihat-lihat lagi sekeliling rumah tersebut, ternyata rumah dinas ini terletak menyendiri, sekitar dua ratus meter letaknya dari rumah-rumah penduduk.
“Mudahan kakak-kakak betah dan sanggup tinggal di rumah ini” Ahmad berujar. Perkataan Ahmad seakan-akan menggambarkan sesuatu yang berbeda ada di rumah dinas ini. “Memang ada apa Mad dengan rumah ini? Tanyaku penasaran. “Lihat rumah ini ada tiga kamar, kakak semua diijinkan untuk menggunakan dua kamar saja, sedangkan kamar yang itu yang terkunci tidak boleh dibuka” katanya sambil jarinya menunjuk kearah kamar yang ia maksudkan. “Kenapa Mad” tanyaku makin penasaran. “Kamar itu bekas digunakan untuk menolong seorang ibu yang hamil tua dan hampir melahirkan, dia meninggal karena di bunuh saat rumahnya dirampok, anaknya lahir saat dia sudah meninggal tapi umur anaknya juga cuma hitungan menit akhirnya juga meninggal” cerita Ahmad. “Mantri yang pernah bertugas di sini yang mencoba menolongnya, akan tetapi sudah terlambat. Mantri itu bercerita bahwa arwah ibu dan bayinya tersebut gentayangan dan sering menemuinya” ceritanya lagi. “Akhirnya mantri tersebut merasa ketakutan, dan meminta untuk pindah tugas ke desa lain” ujarnya.
“Kami tidak takut Mad” sahutku. “Kami kan berempat, mana mungkin arwah tersebut muncul dihadapan kami berempat” sahutku lagi. “Hehe” Ahmad tersenyum. “Ulun pamit pulang ke rumah ya kak” sahutnya. “Terimakasih ya Mad sudah diantarkan dan dibantu membersihkan rumahnya” ucapku. “Iya” katanya sambil berlalu pulang menuju rumahnya.
Senja kuning ternyata hari ini, kata orang tua dulu jika senja kuning terjadi maka sedang terjadi bala, dan bisa ada yang meninggal karena bebunuhan itu yang pernah aku dengar dari orang tuaku.
Malam pun tiba, setelah sholat isya kami bercengkrama, sambil minum teh dan makan kerupuk yang di goreng tadi sore. “Dar, kamu percaya dengan ucapan Ahmad tadi sore” tanyaku. “Antara percaya dan tidak” sahutnya. “Memang kayanya suasana desa ini mistis, rumah ini juga kayanya memiliki hawa yang kurang bagus, ditambah ada kuburan di belakang rumah ini” sahutnya lagi. “Kita harus berani Dar, mana ada hantu yang muncul dihadapan orang banyak, kita berempat, tidak mungkin hantu akan menampakkan dirinya” kataku agak sombong.
Tanpa terasa malam sudah sangat larut, jam ditanganku menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Udara dingin menusuk tulang, suara-suara aneh terdengar di kejauhan, longlongan anjing hutan kembali terdengar, suaranya seperti orang yang sedang merasakan kepedihan hati, menyayat. Deru angin menerpa daun-daun pepohonan diluar sana, menimbulkan suara-suara gesekan yang menambah suasana malam itu terasa mencekam.
“Ayo kita beristirahat” kataku kepada teman-temanku. Kami masing-masing berdiri dengan niat menuju kamar masing-masing. Tapi belum lagi kaki kami melangkah, tiba-tiba saja kami di kagetkan dengan suara piring jatuh di dapur. “praaakk” suara piring itu terjatuh memecah kesenyapan malam. “Aneh, padahal piring tersebut terletak di atas meja dan posisinya ditengah, kenapa bisa jatuh” pikirku. Seakan di komando kami langsung berpandangan satu sama lain, dan seakan punya pikiran yang sama kami langsung merapatkan diri karena ternyata semuanya merinding.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan kami tadi, tiba-tiba saja terdengar suara tangisan bayi, dan benar saja suara itu berasal dari kamar yang terkunci itu. Kami hanya bisa kagum, tubuh kami kaku, terdiam tanpa sepatah kata pun terucap. Sekian menit lamanya tangisan bayi itu terdengar seperti jeritan seorang anak yang kehilangan ibunya dan akhirnya hilang seakan terbawa hembusan angin malam. Tetapi setelah itu jantung kami sekan mau terlepas dari kerangkanya, ada suara perempuan lirih berucap pelan “anakku sayang, anakku sayang, sini nak jangan menagis”. Beberapa detik kemudian suara tersebut berganti dengan senandung yang seakan menyayat hati, terasa sangat menyakitkan, pedih seperti luka yang kena air cuka. Tanpa terasa bulir-bulir hangat mengalir dari mata kami mendengar senandung yang menyayat hati itu.
Lalu suara itu juga menghilang, tapi sekelebat kami melihat ada sosok wanita berambut panjang dengan menggendong seorang bayi mungil berlalu keluar rumah dengan menembus dinding rumah. Seorang teman perempuan kami berteriak histeris melihat sosok wanita itu dan kemudian jatuh pingsan tidak sadarkan diri.
Malam itu kami lewati dengan rasa takut yang teramat sangat, sambil berusaha menyadarkan teman kami yang pingsan tadi, kami sepakat besok untuk minta pindah dan menumpang tinggal di rumah pak Ruslan saja. Akhirnya pagi pun tiba, dan teman kami sudah sadar. Tanpa menunggu waktu lama, kami tergesa-gesa membereskan barang-barang kami dan berangkat menuju rumah Pak Ruslan.
Sesampainya disana, pak Ruslan terbengong-bengong melihat kami datang dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa adik-adik, kok kalian sepagi ini ke sini dan membawa semua perlengkapan kalian” tanyanya kepada kami. Lalu aku menceritakan kepada beliau tentang kejadian tadi malam. Dan aku juga menceritakan bahwa kami sempat bilang sama Ahmad bahwa kami berani, dan mana mungkin hantu akan menampakkan dirinya kepada kami, karena kami berempat.
Pak Ruslan menghela nafas panjang “Yang kalian temui tadi malam adalah anak bajang, demikian penduduk desa sini menamakannya. Anak bajang adalah anak hantu, dan biasanya muncul beserta orang tuanya” katanya lirih. “Baiklah, kalian boleh tinggal di rumah saya, dan menyelesaikan tugas kalian di sini” ucapnya. “Tapi satu pesan saya untuk adik-adik. Kalian jangan sekali-kali menyombongkan diri di sini, apalagi menganggap sepele hal-hal mistis yang ada di sini. Pepatah mengatakan dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” ucapnya lagi. Aku dan teman-teman hanya bisa tertunduk dan merasa bersalah dan malu karena sudah sombong dan menganggap sepele hal-hal mistis di desa ini.


Arti kata yang tercetak miring :
Pambakal         : Kepala desa
Jagau               : orang yang pemberani dan ditakuti
Pian                 : kamu
Kariwaya         : nama pohon yang dianggap angker
Ulun                : aku
Bebunuhan      : terjadi perkelahian yang menyebabkan kematian

2 komentar: