“Anak
Bajang”
Mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata)
merupakan salah satu mata kuliah semester akhir yang wajib kami ambil selain
skripsi. Aku kulian di IAIN ( Institut
Agama Islam Negeri ) Antasari Banjarmasin Kalimantan Selatan angkatan 1995.
Pada tahun 2000 aku mengambil mata
kuliah tersebut, pelaksanaannya selama dua bulan di sebuah desa yang nun jauh
disana, tepatnya di desa Simpang Nadong Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan
Kalimantan Selatan. Secara geografis desa Simpang Nadong terletak di kaki
gunung Meratus, berbatasan dengan desa-desa yang dihuni oleh masyarakat dayak
meratus. Penerangan disana masih menggunakan lampu teplok atau lampu dengan
minyak tanah sebagai sumber energinya.
Perjalanan menuju lokasi desa tersebut
ditempuh kurang lebih tujuh jam dari kota Banjarmasin, perjalanan yang melelahkan,
apalagi buat aku yang notabene jarang melakukan perjalanan yang jauh tentunya
menguras energi yang banyak. Pemandangan disisi kanan dan kiri menuju desa
memang menyajikan pemandangan yang menyejukkan mata, pepohonan yang besar-besar
menyediakan oksigen yang melimpah sehingga udaranya terasa sejuk dan
menyegarkan, tapi sekaligus juga menyajikan kengerian karena juga nampak jurang
di sisi jalan yang kami lalui yang sekan-akan siap menelan mobil yang kami
tumpangi sewaktu-waktu.
Dalam perjalanan pikiranku terbang
tinggi melayang, setinggi layang-layang yang ditiup angin dan melenggak-lenggok
di angkasa, menari-nari dengan lincah. “Hemm, ternyata disini belum ada
penerangan dari PLN, sinyal telpon seluler apalagi” gumamku dalam hati.
“Sanggupkah aku dan teman-temanku untuk bersosisialisasi di desa tempat kami
nanti di tugaskan” pikirku.
Aku KKN memang tidak sendirian, kami
berempat. Temanku yang lainnnya ada satu orang laki-laki namanya Badar, dan dua
orang perempuan yaitu Fitri dan Zainab.
Aku tersentak, lamunanku hilang seketika
melayang terbang dibawa hembusan angin yang menerpa wajahku. “Apa yang
dilamunkan?” tanya Badar kepadaku. “Ah, tidak ada Dar” jawabku. “Oh iya, kita
sudah berada di daerah mana?” tanyaku. “Sudah sampai di desa Tebing Tinggi”
jawab Badar. “Setelah melewati dua desa lagi kata sopir kita akan sampai di
desa Simpang Nadong” sahutnya lagi.”Oh, sudah dekat rupanya” kataku.
Dua puluh menit kemudian sampailah kami
ke desa Tujuan. Kami disambut langsung oleh Pambakal
desa tersebut. Pak Ruslan namanya, beliau sangat ramah, dan nampaknya termasuk
orang yang berpendidikan, padahal aku sering dengar cerita kalau pambakal-pambakal di daerah desa terpencil biasanya orang yang sangar, dan jagau.
“Ayo adik-adik mahasiswa, kita ke rumah
saya” ucapnya. “Iya pak” sahut kami kompak sekompak paduan suara yang sering
aku lihat di televisi. Beberapa saat kemudian sampailah kami di rumah Pak
Ruslan. Ternyata rumah beliau lumayan besar, beliau ternyata orang kaya di desa
ini. Selentingan kabar yang aku dengar beliau adalah salah satu pemilik kebun
karet yang terbanyak di desa Simpang Nadong ini, dan seperti dugaanku tadi
ternyata benar beliau termasuk orang yang berpendidikan. Ternyata beliau pernah
mondok di pesantren yang terkenal di daerah Bangil Jawa Timur.
Hari sudah menjelang sore saat itu.
“Malam ini kalian boleh menginap di rumah saya” ucap pak Ruslan kepada kami.
“Itu ada kamar kosong satu, biar itu digunakan untuk perempuan, yang laki-laki
nanti tidur di ruang tengah saja ya” ucapnya lagi. Kami mengangguk tanda setuju.
“Untuk hari-hari berikutnya kalian boleh menggunakan rumah dinas yang pernah
digunakan oleh Mantri yang sempat ditugaskan di desa sini” beliau kembali
berujar.
Malam itu kami beristirahat di rumah Pak
Ruslan. jam dinding sudah menunjukkan jam sepuluh, suasana malam di desa
tersebut sangat sepi. Teman perempuan kami sudah masuk kamar untuk
beristirahat, maklum perjalanan selama tujuh jam sangat melelahkan. Di ruang
tengah aku dan Badar masih mengobrol, ditemani anak laki-laki pak Ruslan yang
sudah mulai menginjak dewasa, sekitar 16 tahun umurnya.
“Pian-pian
tahu lah, di desa kami ini suasananya masih sangat mistis” Ahmad anak pak
Ruslan memulai pembicaraan. “Oh begitu” sahutku. “Di ujung desa sana, mungkin pian tadi terlewati saat dalam
perjalanan ke sini, ada pohon kariwaya
yang sangat besar, angker, banyak hantunya” cakap Ahmad lagi. Aku tersenyum,
karena aku terbiasa hidup di daerah perkotaan dan tidak pernah mengalami
hal-hal yang aneh atau gaib, maka pikirku apa yang dikatakan Ahmad ya sekedar isapan
jempol belaka. “Mana ada jaman sekarang hantu” pikirku.
Kami masih asik mengobrol ditemani lampu
teplok yang redup, se redup suasana desa yang tanpa penerangan diluar sana,
hanya suara-suara asing yang terdengar di kejauhan. Tidak berapa lama kemudian
Badar dan Ahmad merasa mengantuk, dan mereka bersiap untuk istirahat tidur.
Sebelum tidur Ahmad masih sempat berujar kepadaku “hati-hati ya Kak, jika pian mendengar suara yang aneh-aneh
diluar sana jangan takut, paling itu suara hantu” katanya sambil cengengesan
dan lalu merebahkan diri untuk tidur.
Sesaat kemudian suara dengkuran dari
kedua anak manusia tersebut membahana di ruang tengah ini. Suaranya menambah
suasana temaram malam itu makin terasa menyeramkan. Entah kenapa aku tiba-tiba
saja merinding, ada rasa takut yang mulai menggerogoti perasaanku. Ternyata
benar kata Ahmad, suasana desa Simpang Nadong ini memang masih mistis.
Sayup-sayup ku dengar dari kejauhan suara lolongan anjing hutan yang serasa
menyayat ulu hati.
Tiba-tiba aku tersentak kaget, jantungku
seakan-akan mau copot. Ku dengar ada suara seperti suatu benda besar jatuh ke
sungai. Di luar sana sekitar kurang
lebih lima puluh meter dari rumah pak Ruslan tempat kami menginap memang
terdapat sebuah sungai.
Dalam kondisi merinding dan ada rasa
takut, aku cuma bisa terdiam. Tiba-tiba tubuhku tidak bisa bergerak, terasa
kaku, seakan-akan ada makhluk besar menindih tubuhku. Dengan segenap kesadaran
yang aku miliki, aku mencoba meronta dan membaca ayat-ayat Al Qur’an yang aku
hapal. Akhirnya aku merasa sudah terbebas dari tindihan makhluk besar tadi. Aku
lalu mengucap istighfar, dan berdoa kepada Allah agar tidak diganggu oleh
makhluk besar itu lagi. Akhirnya aku bisa tertidur juga karena memang malam
sudah sangat larut, mataku sudah teramat berat.
Keesokan harinya saat bangun subuh, aku
tidak menceritakaan kejadian malam tadi kepada teman-temanku yang lain. “Biar
aku saja yang tahu” pikirku. Siang itu kami di ajak berkeliling desa oleh pak
Ruslan, kami dikenalkan dengan tokoh-tokoh desa setempat, dikenalkan dengan
lingkungan sekitar desa, dan ternyata beliau juga mengajak kami ke tempat yang
diceritakan Ahmad tadi malam yaitu tempat tumbuhnya pohon kariwaya yang sangat besar. “Ternyata ini toh pohon kariwaya yang diceritakan Ahmad, banyak
kuburan rupanya di bawah pohon ini” gumamku dalam hati.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah pak
Ruslan, beliau juga menunjukkan rumah dinas mantri yang nantinya akan kami
tempati. Ku lihat ternyata dibelakang rumah dinas tersebut juga terdapat
kuburan penduduk setempat.
“Nanti sore kalian sudah bisa menempati
rumah dinas ini” kata pak Ruslan. “Ahmad anak saya nanti yang akan membantu
kalian membenahi tempat ini” katanya lagi kepada kami.
Sore itu ditemani Ahmad, kami menuju rumah
dinas yang akan kami tempati. Sesampainya disana aku melihat-lihat lagi
sekeliling rumah tersebut, ternyata rumah dinas ini terletak menyendiri,
sekitar dua ratus meter letaknya dari rumah-rumah penduduk.
“Mudahan kakak-kakak betah dan sanggup
tinggal di rumah ini” Ahmad berujar. Perkataan Ahmad seakan-akan menggambarkan
sesuatu yang berbeda ada di rumah dinas ini. “Memang ada apa Mad dengan rumah
ini? Tanyaku penasaran. “Lihat rumah ini ada tiga kamar, kakak semua diijinkan
untuk menggunakan dua kamar saja, sedangkan kamar yang itu yang terkunci tidak
boleh dibuka” katanya sambil jarinya menunjuk kearah kamar yang ia maksudkan.
“Kenapa Mad” tanyaku makin penasaran. “Kamar itu bekas digunakan untuk menolong
seorang ibu yang hamil tua dan hampir melahirkan, dia meninggal karena di bunuh
saat rumahnya dirampok, anaknya lahir saat dia sudah meninggal tapi umur
anaknya juga cuma hitungan menit akhirnya juga meninggal” cerita Ahmad. “Mantri
yang pernah bertugas di sini yang mencoba menolongnya, akan tetapi sudah
terlambat. Mantri itu bercerita bahwa arwah ibu dan bayinya tersebut
gentayangan dan sering menemuinya” ceritanya lagi. “Akhirnya mantri tersebut
merasa ketakutan, dan meminta untuk pindah tugas ke desa lain” ujarnya.
“Kami tidak takut Mad” sahutku. “Kami
kan berempat, mana mungkin arwah tersebut muncul dihadapan kami berempat”
sahutku lagi. “Hehe” Ahmad tersenyum. “Ulun
pamit pulang ke rumah ya kak” sahutnya. “Terimakasih ya Mad sudah diantarkan
dan dibantu membersihkan rumahnya” ucapku. “Iya” katanya sambil berlalu pulang
menuju rumahnya.
Senja kuning ternyata hari ini, kata
orang tua dulu jika senja kuning terjadi maka sedang terjadi bala, dan bisa ada
yang meninggal karena bebunuhan itu
yang pernah aku dengar dari orang tuaku.
Malam pun tiba, setelah sholat isya kami
bercengkrama, sambil minum teh dan makan kerupuk yang di goreng tadi sore.
“Dar, kamu percaya dengan ucapan Ahmad tadi sore” tanyaku. “Antara percaya dan
tidak” sahutnya. “Memang kayanya suasana desa ini mistis, rumah ini juga kayanya
memiliki hawa yang kurang bagus, ditambah ada kuburan di belakang rumah ini”
sahutnya lagi. “Kita harus berani Dar, mana ada hantu yang muncul dihadapan
orang banyak, kita berempat, tidak mungkin hantu akan menampakkan dirinya”
kataku agak sombong.
Tanpa terasa malam sudah sangat larut,
jam ditanganku menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Udara dingin menusuk
tulang, suara-suara aneh terdengar di kejauhan, longlongan anjing hutan kembali
terdengar, suaranya seperti orang yang sedang merasakan kepedihan hati,
menyayat. Deru angin menerpa daun-daun pepohonan diluar sana, menimbulkan
suara-suara gesekan yang menambah suasana malam itu terasa mencekam.
“Ayo kita beristirahat” kataku kepada
teman-temanku. Kami masing-masing berdiri dengan niat menuju kamar
masing-masing. Tapi belum lagi kaki kami melangkah, tiba-tiba saja kami di
kagetkan dengan suara piring jatuh di dapur. “praaakk” suara piring itu
terjatuh memecah kesenyapan malam. “Aneh, padahal piring tersebut terletak di
atas meja dan posisinya ditengah, kenapa bisa jatuh” pikirku. Seakan di komando
kami langsung berpandangan satu sama lain, dan seakan punya pikiran yang sama
kami langsung merapatkan diri karena ternyata semuanya merinding.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan kami
tadi, tiba-tiba saja terdengar suara tangisan bayi, dan benar saja suara itu
berasal dari kamar yang terkunci itu. Kami hanya bisa kagum, tubuh kami kaku,
terdiam tanpa sepatah kata pun terucap. Sekian menit lamanya tangisan bayi itu
terdengar seperti jeritan seorang anak yang kehilangan ibunya dan akhirnya
hilang seakan terbawa hembusan angin malam. Tetapi setelah itu jantung kami
sekan mau terlepas dari kerangkanya, ada suara perempuan lirih berucap pelan
“anakku sayang, anakku sayang, sini nak jangan menagis”. Beberapa detik
kemudian suara tersebut berganti dengan senandung yang seakan menyayat hati, terasa
sangat menyakitkan, pedih seperti luka yang kena air cuka. Tanpa terasa bulir-bulir
hangat mengalir dari mata kami mendengar senandung yang menyayat hati itu.
Lalu suara itu juga menghilang, tapi
sekelebat kami melihat ada sosok wanita berambut panjang dengan menggendong
seorang bayi mungil berlalu keluar rumah dengan menembus dinding rumah. Seorang
teman perempuan kami berteriak histeris melihat sosok wanita itu dan kemudian
jatuh pingsan tidak sadarkan diri.
Malam itu kami lewati dengan rasa takut
yang teramat sangat, sambil berusaha menyadarkan teman kami yang pingsan tadi,
kami sepakat besok untuk minta pindah dan menumpang tinggal di rumah pak Ruslan
saja. Akhirnya pagi pun tiba, dan teman kami sudah sadar. Tanpa menunggu waktu
lama, kami tergesa-gesa membereskan barang-barang kami dan berangkat menuju
rumah Pak Ruslan.
Sesampainya disana, pak Ruslan
terbengong-bengong melihat kami datang dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa
adik-adik, kok kalian sepagi ini ke sini dan membawa semua perlengkapan kalian”
tanyanya kepada kami. Lalu aku menceritakan kepada beliau tentang kejadian tadi
malam. Dan aku juga menceritakan bahwa kami sempat bilang sama Ahmad bahwa kami
berani, dan mana mungkin hantu akan menampakkan dirinya kepada kami, karena
kami berempat.
Pak Ruslan menghela nafas panjang “Yang
kalian temui tadi malam adalah anak bajang, demikian penduduk desa sini
menamakannya. Anak bajang adalah anak hantu, dan biasanya muncul beserta orang
tuanya” katanya lirih. “Baiklah, kalian boleh tinggal di rumah saya, dan menyelesaikan
tugas kalian di sini” ucapnya. “Tapi satu pesan saya untuk adik-adik. Kalian
jangan sekali-kali menyombongkan diri di sini, apalagi menganggap sepele hal-hal
mistis yang ada di sini. Pepatah mengatakan dimana bumi dipijak di situ langit
dijunjung” ucapnya lagi. Aku dan teman-teman hanya bisa tertunduk dan merasa
bersalah dan malu karena sudah sombong dan menganggap sepele hal-hal mistis di
desa ini.
Arti kata yang tercetak miring :
Pambakal :
Kepala desa
Jagau :
orang yang pemberani dan ditakuti
Pian :
kamu
Kariwaya :
nama pohon yang dianggap angker
Ulun :
aku
Bebunuhan :
terjadi perkelahian yang menyebabkan kematian
Asooyy
BalasHapusHahaha...
BalasHapus