“Pesantren
Bukan Bengkel Pendidikan Akhlak”*
Telinga kita tentunya tidak asing lagi
mendengar kalimat yang sering diucapkan oleh beberapa orang tua yang menyatakan
bahwa jika memiliki anak yang nakalnya minta ampun alias kelewat batas maka
masukkan saja ke pesantren biar akhlaknya bisa membaik dan kenakalannya hilang.
Pernyataan seperti ini nampaknya sudah membudaya dan berakar kuat di lingkungan
masyarakat kita. Jika memiliki anak yang nakal secara spontan akan berniat
memasukkan anaknya ke pendidikan yang berbasiskan agama atau dikenal dengan
pesantren. Sebaliknya sangat jarang terjadi ada orang tua yang secara sadar
memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan agar anaknya memperoleh
pengetahuan agama lebih dalam yang nantinya bisa menjadi bekal si anak untuk
menapaki jalan kehidupan dimasa yang akan datang.
Pola pikir semacam ini adalah pola pikir
yang salah. Pesantren bukanlah sebuah bengkel yang bertugas memperbaiki akhlak
anak yang sudah rusak. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang
berbasiskan agama. Fungsi mereka sama seperti lembaga pendidikan formal lainnya
yaitu mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik akhlak santri santriwatinya.
Tapi tentunya makna mendidik itu akan berbeda
dengan memperbaiki. Makna mendidik lebih menitikberatkan bagaimana cara
menyampaikan dan mengajarkan serta memberikan contoh suri teladan seperti apa
akhlak yang yang baik terhadap semua makhluk Tuhan, sedangkan memperbaiki
mengandung makna membuat baik sesuatu yang sudah rusak, dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah memperbaiki akhlak seorang anak yang sudah rusak. Mendidik
adalah sesuatu yang berat untuk dilaksanakan apalagi memperbaiki.
Akibat pola pikir yang salah ini membuat
pengaruh yang besar terhadap kondisi pesantren tersebut, terutama terhadap
lingkungannya dan Out Put yang dihasilkan. Pesantren akan menjadi tempat
terkumpulnya anak nakal. Bahkan tidak sedikit orang beranggapan bahwa lulusan
pesantren tidak menjamin akhlak santri maupun santriwatinya setelah keluar dari
pesantren menjadi lebih baik, bahkan bisa lebih buruk dari akhlak siswa siswi
yang lulus dari sekolah formal biasa. Banyak kejadian yang membuat kita prihatin.
Misalnya saja ada sekelompok santriwati yang kedapatan lagi asik bersuka ria di
karaoke. Ada sekelompok santri yang sedang asik merokok atau asik bermain kartu,
dan masih banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang membuat nama pesantren
menjadi negatif di mata masyarakat.
Hal demikian bisa terjadi dikarenakan
pesantren menjadi tempat para orang tua untuk memperbaiki akhlak anak-anak
mereka yang sudah rusak, padahal pesantren bukanlah sebuah bengkel pendidikan
akhlak. Oleh karena itu jangan salahkan pesantrennya, tapi salahkanlah diri
kita sendiri yang beranggapan bahwa pesantren adalah bengkel pendidikan akhlak.
Untuk menghilangkan citra negatif yang
diterima pesantren-pesantren tersebut hanya ada satu cara yaitu merubah pola pikir
masyarakat yang dulunya hanya akan memasukkan anaknya ke pesantren jika akhlak
anaknya sudah rusak menjadi pola pikir yang lebih positif yaitu secara sadar
memasukkan anaknya untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang berwawasan agama dan
berwawasan akhlak.
Tidak mudah memang merubah pola pikir tersebut.
Masyarakat harus diajak berpikir dalam dan diajak memainkan logika mereka. Jika
mereka mau secara sadar memasukkan anaknya ke pesantren dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dari lembaga pendidikan formal lainnya maka
insya Allah Out Put yang dihasilkan pesantren juga akan mampu bersaing dengan
Out Put dari pendidikan formal lainnya, bahkan akan banyak prestasi-prestasi
yang mampu mereka peroleh. Jika pola pikir yang positif ini sudah bisa
membudaya dan berakar di lingkungan masyarakat maka pelan tapi pasti citra negatif
pesantren akan berubah positif.
*Tulisan ini hanya pendapat pribadi, pasti akan berbeda dengan pendapat individu lainnya.
Banjarbaru, 17 Nopember 2016
Asrani, S.Pd.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar