“Hantu
Suluh”*
Tahun 1990, ku putar kembali waktu ke
masa itu. Umurku baru lima belas tahun, masih duduk di bangku SMA kelas 1. Aku
tinggal di sebuah kampung yang pada saat itu penerangan yang digunakan di rumah
masih menggunakan lampu minyak tanah. Tidak ada listrik seperti di kota.
Banyaknya pepohonan besar yang tumbuh dan paring
yang berjejer membuat suasana kampungku gelap gulita dan menyeramkan bagi
sebagian orang.
Kampungku juga dikelilingi hamparan
sawah yang ditanami banih. Banih yang banyak ditanam adalah banih tahun yang masa penanamannya
tergantung dari musim hujan atau yang dikenal dengan tadah hujan. Bertani
memang mata pencarian utama penduduk di kampungku. Akan tetapi pada saat-saat
tertentu khususnya saat musim memuntal
dimana pada saat itu ikan-ikan di persawahan sudah berkembang biak, sudah mulai
besar-besar terutama ikan haruan,
masyarakat kampungku termasuk aku sendiri biasanya mencari ikan untuk keperluan
lauk sehari-hari, jika mendapatkan lebih ikannya akan kami jual ke orang-orang
yang memerlukannya.
Kegiatan menangkap ikan tersebut
dinamakan dengan menyuar, yaitu
menangkap ikan pada malam hari dengan bantuan lampu minyak tanah. Lampu minyak
tanah tersebut dipasangi telabang
sebagai pengumpul dan sekaligus pemantul sinar lampu agar bisa melihat ikan di
dalam air di persawahan. Selain itu, juga digunakan alat tambahan yang dinamakan jambih dan bakul purun.
Sore itu aku dengan dua orang temanku
Aman dan Irul bercakap-cakap dan merencanakan malam nanti untuk pergi menyuar bersama-sama.
Malam pun tiba. Setelah sholat isya aku
bersiap-siap dengan menyalakan lampu suar
dan menyediakan jambih serta bakul purun. Tidak lupa ku nyalakan obat
nyamuk bakar yang ku ikatkan di gagang lampu
suar.
Belum lagi aku sempat melangkahkan
kakiku keluar rumah, tiba-tiba ayahku dengan suara serak memanggilku dan
berkata “mau kemana kamu pergi nak? ini malam jum’at”. “Aku mau pergi menyuar bah” sahutku. Abah adalah panggilanku kepada ayahku.
“Memangnya kenapa bah dengan malam jum’at?” tanyaku bersemangat. “Kata orang bahari pamali nak menyuar malam
jum’at, bisa ketemu hantu suluh”.
Mendengar kata hantu merinding juga aku jadinya. “Ah, itu cuma mitos aja bah”
sahutku, “lagian aku menyuar tidak
sendirian kok bah, Aman dan Irul juga ikut menyuar”
sahutku lagi. “Iya, terserah kamu aja, tapi jangan jauh-jauh dan jangan ke arah
tambak yang ada di tengah persawahan
sana, tempatnya angker” kata ayahku lagi. “Iya bah” sahutku santai sambil
berlalu pergi keluar rumah menuju persawahan.
Sekitar jam Sembilan malam Aman dan Irul
sudah menungguku di persawahan depan rumahku.
Satu jam sudah kami menyuar bersama-sama, jarak kami masih berdekatan, mungkin sekitar
lima puluh meter saja jarak antara kami bertiga. Aku semakin asik menangkap
ikan, sangat banyak ikan yang ku temukan mana besar-besar lagi ikan haruannya. Langkah demi langkah kakiku
terus berjalan menyusuri rumpunan banih
yang di kiri kanannya terhampar puntalan
rumput yang mulai membusuk. Tanpa terasa aku semakin jauh dari tempat Aman dan
Irul menyuar, dan akhirnya tampa
sadar cahaya lampu suar mereka sudah
tidak kelihatan lagi seakan-akan ditelan oleh gelapnya malam.
Aku terbelalak, tanpa ku sadari ternyata
didepanku adalah tambak yang
diceritakan ayahku sebelum aku berangkat tadi. Mataku tak berkedip menatap
pulau kecil tersebut, ternyata benar tempat yang angker. Nampak dimataku tambak tersebut seperti beberapa raksasa
yang sedang berdiri dan memandangiku, hitam legam dipekatnya malam yang
samar-samar kelihatan oleh cahaya lampu suar
ku. Setelah secara seksama kupandangi ternyata hanya kumpulan beberapa
pohon besar yang menjulang tinggi dan berdiri kokoh, sekokoh monas yang ada di
Ibu Kota Indonesia ini yaitu Jakarta.
Aku merinding dibuatnya dan akhirnya
memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, toh aku sudah dapat banyak ikan
pikirku.
Yang membuat jantungku berdetak cepat
adalah aku lupa ke arah mana aku harus melangkahkan kaki agar aku tidak
tersesat menuju rumah. Aku benar-benar lupa, seakan-akan ingatanku hilang
terbawa angin malam yang berhembus dingin yang membuat suasana semakin angker.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat seberkas
cahaya lampu. Aku berujar dalam hati, “itu pasti cahaya lampu dari temanku Aman”.
Aku menuju mendekat ke arahnya dan ku panggil namanya “Man…Aman” suaraku
bergetar memanggilnya. Sayup-sayup ku dengar suara menyahut panggilanku “ui”. “Kita bulikan yu Man” ajakku, “Ayo, iringi
aku” sahutnya dari kejauhan.
Aku terus mengikuti cahaya lampu
tersebut, tapi kakiku mulai terasa letih. “Kenapa belum juga sampai, sudah satu
jam lebih aku berjalan mengikuti Aman tapi kumpulan rumah penduduk masih belum
nampak” gumamku. Lama dan terasa semakin lama, kakiku sudah teramat letih dan
mulai tertatih-tatih berjalan mengikuti cahaya lampu tersebut.
Dengan langkah tertatih-tatih aku
akhirnya tidak sanggup lagi berjalan untuk mengikuti cahaya lampu tersebut,
untungnya kulihat ada gundukan tanah yang ditanami beberapa pohon pisang. Aku
singgah, dan duduk beristirahat menyender dibatang pisang tersebut ditemani
oleh lampu suar ku yang mulai redup
karena minyaknya sudah hampir habis, serta hembusan angin malam yang terasa bagaikan
es menusuk sampai ke tulang karena bercampur dengan embun yang mulai turun
menyapa hamparan banih. “Mungkin
sudah jam tiga malam lewat” gumamku lagi dalam hati.
Dengan tubuh menggigil kedinginan
batinku berujar “jangan-jangan cahaya lampu yang ku ikuti tadi bukan cahaya
lampu suar Aman, melainkan cahaya
lampu dari Hantu Suluh”. Sebelum aku
berangkat tadi ayahku menceritakan tentang hantu suluh tersebut, beliau juga
mengatakan bahwa hantu suluh itu bisa membuat kita tersesat, dia bisa
berpura-pura seperti teman kita sehingga kita akan mengikutinya, padahal kita
dibawanya berputar-putar saja sekitar tempat tersebut sampai kita kelelahan.
Badan dan kakiku terasa sangat lelah dan
penat, mataku pun sudah sangat berat ingin terpejam. Akhirnya aku tertidur
dengan diselimuti embun pagi yang turun menyapa hamparan banih yang menghijau.
Aku tersentak kaget, ada percikan air
mengenai mukaku. Saat mataku terbuka kulihat puluhan orang berdiri dihadapanku,
diantaranya adalah temanku Aman dan Irul serta orang yang tidak asing lagi
bagiku, yaitu ayahku. “Kenapa kamu tidak pulang nak? malah tidur disini, ayah
dan ibumu sangat khawatir. Akhirnya ayah mendatangi Aman dan Irul, tapi mereka
juga tidak tahu dan mengira kamu sudah pulang. Akhirnya kami sepakat untuk
mencarimu di persawahan ini” kata ayahku. “Aku juga tidak tau bah, padahal aku
sudah menuju rumah dengan mengikuti cahaya lampu yang aku kira itu Aman”
sahutku. “Lalu kakiku sudah teramat letih berjalan, dan tidak kuat lagi.
Akhirnya aku terduduk disini, kemudian tertidur karena saking lelah dan
mengantuknya aku” sahutku lagi. Akhirnya aku dibawa pulang dengan dipapah oleh ayahku.
Sesampainya di rumah ayahku menasehatiku “makanya nak, kalau ayah bilang pamali itu kamu jangan menentang. Kamu
tadi malam pasti bertemu dengan hantu
suluh, makanya kamu tersesat dan tidak menemukan jalan pulang ke rumah”. “
Iya bah, maafkan aku. Aku tidak akan menentang kata Abah lagi”.
Makna kata yang bercetak miring :
Paring :
bambu
Banih :
padi
Memuntal :
kegiatan mengumpulkan rumput yang sudah di potong-potong kemudian digulung
sebesar bantal
Haruan :
ikan gabus
Manyuar :
kegiatan mencari ikan dimalam hari dengan menggunakan lampu sebgai sumber
cahaya
Jambih :
alat menangkap ikan yang terbuat dari anyaman bilah bamboo
Bakul purun :
wadah serbaguna yang terbuat dari anyaman tanaman purun
Pamali :
sesuatu yang tabu atau dilarang untuk dilakukan
Bahari :
zaman dahulu
Puntalan :
rumput yang digulung
Tambak :
pulau kecil ditengah sawah
Ui :
iya
Bulikan :
pulang
Iringi :
ikuti
Suar :
lampu yang memakai telabang
Telabang :
alat pengumpul dan pemantul cahaya lampu minyak tanah
Hantu suluh :
makhluk gaib yang menyerupai cahaya lampu*Ditulis dalam rangka belajar nulis cerpen, alhamdulillah saat itu banyak dapat koreksi dan jadi pembelajaran berharga