Senin, 16 Januari 2017

Cerpen "KUYANG"

                   KUYANG*


RUMAH itu jauh di ujung sana, dekat dengan kuburan. Hanya ada jalan setapak yang bisa dilewati. Malam ini, udara di luar begitu dingin. Selalu saja tercium wangi bunga kamboja dan melati. Angin yang bertiup kencang juga membuat daun bambu yang tumbuh di samping rumah Acil Midah menimbulkan suara seperti kertas yang bergesekan. Suara katak dan jangkrik ikut terdengar sangat jelas dari dalam rumah.
Sudah lama Irham tidak mengunjungi Acil Midah. Di atas tikar lusuh, Irham masih duduk bersila.
  “Istrimu adalah tian mandaring¸ begitulah sebutan bagi orang yang melahirkan pertama kalinya. Maka, bila senja tiba, ajaklah istrimu masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat, penuhilah syarat-syarat. Bentangkan tali haduk di setiap rumahmu yang bercelah, juga tempat tidur yang akan digunakan istrimu ketika melahirkan nanti. Percayalah, itu mampu menangkal sesuatu yang jahat. Kau tahu? Tian mandaring meruapkan wangi yang sangat dahsyat. Tapi jangan kau kira itu adalah wangi yang bisa kau cium. Lewat angin, wangi itu akan dikirim dan menjadi penunjuk alamat rumahmu. Tapi jangan takut. Kau sudah datang kemari. Bawalah tujuh lapis benang hitam ini pulang. Ikatlah pada jempol kaki kanan istrimu sambil membaca shalawat nabi. Insya Allah, sesuatu yang jahat tak berani mendekat.” 
Irham hanya termangu. Tujuh lapis benang hitam sudah dalam genggamannya. Benda-benda semacam itu bukan hal baru. Tapi dua belas tahun hidup di pesantren membuatnya berubah. Tidak ada bedanya antara penyembah berhala jika masih mempercayai benda-benda semacam itu, bathinnya. Tapi Irham sangat memahami siapa Acil Midah. Dulu, sewaktu suaminya masih hidup, mereka berdua dijuluki sepasang suami istri yang baik hati. Acil Midah dan suaminya selalu membantu orang yang membutuhkan pertolongan mereka. Tapi resiko yang dihadapi Acil Midah dan suaminya cukup berbahaya. Setelah beberapa kali berhasil menggagalkan santet, pernah di malam yang senyap, sebuah cahaya terang melesat dan masuk ke rumah Acil Midah. Orang-orang yang kebetulan melihat cahaya itu dari kejauhan, menganggapnya sebagai bintang jatuh. Tapi di rumah Acil Midah, sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Dengan tubuh yang membiru pucat, nyawa suaminya meregang malam itu juga. Ketika Acil Midah meminta bantuan untuk menguburkan mayat suaminya, orang-orang mulai sadar apa yang telah terjadi dengan suami Acil Midah. Pasti akibat santet, begitu orang-orang menyimpulkannya. 
 “Untuk apa kuyang mendatangi setiap orang yang akan melahirkan? Lebih realistis menjadi maling atau rampok. Tujuan mereka jelas.”
Acil Midah tertawa keras hingga terbatuk-batuk. Sebelum menjawab, ia mengambil daun sirih dalam bungkusan plastik. Irham baru tahu kalau Acil Midah saat ini suka menginang. Daun sirih itu dicampurnya dengan kapur dan pecahan biji pinang. 
“Aku mulai menginang sejak suamiku meninggal. Awalnya memang terasa pahit, tapi sekarang enak sekali. Untuk gigiku ini, agar tidak keropos. Toh, aku memutuskan tidak ingin menikah lagi. Jadi tidak perlu khawatir ada seorang lelaki yang terganggu saat mencium bibirku,” ucap Acil Midah dengan tawa terbahak bahak. Irham tersenyum. Acil Midah memang teman bicara yang menyenangkan. Kadang serius, kadang juga lucu.
“Banyak alasan kenapa orang menjadi kuyang. Kapan-kapan aku ceritakan semuanya kepadamu. Tapi kebanyakan mereka menggunakannya agar terlihat cantik. Tujuannya sama ketika orang-orang menggunakan susuk.”
“Ternyata banyak juga yang belum kuketahui,” kata Irham.  
“Itu karena dulu kau lebih suka ilmu kekebalan dan ilmu untuk mendapatkan perempuan. Semoga saja istri yang kau dapatkan itu bukan karena pelet,” ledek Acil Midah. 
Giliran tawa Irham meledak, “Tentu saja, tidak. Bahkan semua yang pernah Acil Midah ajarkan, tidak lagi kuamalkan.”
“Kenapa?” selidik Acil Midah.
“Jika kukatakan, pasti Acil Midah akan meledekku.”
“Karena kau lulusan pesantren?”
“Ya. Aku diajarkan untuk tidak lagi mempercayai hal-hal seperti itu.”
Acil Midah menganggukkan kepalanya. “Tapi untuk kali, kau harus mengikatkan benang hitam itu ke jempol kaki istrimu.”
Irham tidak menjawab. Bahkan tadi ia sempat berpikir akan membuang benang hitam itu sesampainya di rumah. Ia menemui Acil Midah hanya untuk silaturahmi. Bagaimana pun, Acil Midah adalah kakak dari ibu kandungnya sendiri. “Aku kemari juga ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin mewarisi ilmu-ilmu seperti yang Acil Midah miliki.”  
“Dua belas tahun adalah waktu yang panjang untukmu berpikir. Apalagi kau lulusan pesantren. Tentu saja kau menolak ilmu yang sudah mentradisi di keluarga kita. Tapi secara garis keturunan, kau berhak atas semua ilmu-ilmu itu.”
“Bagaimana jika aku tidak mau?”
“Aku senang dengan pendirianmu. Dulu, aku juga begitu. Tapi kepada siapa lagi orang akan meminta bantuan jika tidak ada yang mewarisinya?” 
Irham tidak ingin berdebat malam ini. “Bagaimana jika kita bicarakan nanti saja. Aku harus pulang sekarang, istriku pasti sedang menunggu.”
Acil Midah tersenyum. “Tunggu sebentar,” Acil Midah masuk ke dalam kamar. Ia kembali membawa sebatang kayu yang bentuknya seperti tongkat. “Aku ingin mewariskan ini kepadamu. Simpanlah. Siapa tahu kau membutuhkannya. Juga tali haduk ini, agar kau tidak repot membelinya.”
“Untuk apa tongkat ini?”
“Itu terbuat dari kayu Palawan. Ampuh sekali untuk mengalahkan kuyang. Pukul saja di bagian kepala, ia tidak akan bisa melarikan diri,” jawab Acil Midah.
Berat hati Irham menerima pemberian Acil Midah. Bukankah semua benda yang dulu diberikan Acil Midah juga sudah ia bakar?

***
Sambil memegangi perut yang sudah besar, perempuan itu tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia menyesal mengijinkan suaminya berangkat ke rumah Acil Midah. Pikirannya selalu terbayang-bayang dengan kejadian empat hari yang lalu. Seorang perempuan meninggal dunia saat melahirkan. Seandainya peristiwa itu tidak terjadi di samping rumahnya, mungkin Tanti tidak perlu cemas. Ia kembali mengelus perutnya. Suara longlongan anjing di luar sana membuat Tanti semakin gelisah. Meski dokter mengatakan jabang bayinya akan lahir dua minggu lagi, bukan berarti tidak mungkin lahir malam ini.
Perlahan Tanti mengedarkan pandangannya ke bagian pintu dan jendela. Meski sudah terkunci, tetap saja Tanti tidak bisa menghilangkan rasa takutnya. Orang-orang bilang, kuyang akan masuk melalui celah lobang angin yang ada di atas pintu atau jendela. Tanti semakin cemas, apalagi sejak sore, perutnya terasa mules. Namun, dari kejauhan terdengar motor. Tanti berharap itu milik suaminya. Ia segera mengintip ke balik korden. Dugaannya tidak salah. Tanti langsung mengambil kunci pintu rumah yang tersimpan di balik kantong daster. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lega.
“Mulai besok, aku tidak ingin tinggal sendirian di rumah,” ketus Tanti mengucapkannya.
Irham menoleh, “Wajahmu pucat?”
Tanti menghindari tatapan suaminya. “Aku hanya mengantuk. Bagaimana kabar Acil Midah?”
“Baik. Dia titip salam untukmu.”
“Hanya itu?” selidik Tanti.
“Sebentar lagi kau melahirkan. Kata dokter, lebih baik kau banyak istirahat dan tidak terlalu tegang.”
“Semua dokter akan bilang begitu. Seandainya tidak terjadi peristiwa kemaren, aku pasti siap menghadapinya.”
“Kita serahkan saja semua urusan ini kepada Allah.”
“Maksudku, apa kita tidak boleh berikhtiar disamping tetap memohon keselamatan kepada Allah?”
Irham tahu maksud ucapan istrinya. Apalagi ia baru saja datang dari rumah Acil Midah. “Ia memberikan ini kepadaku,” Irham mengeluarkan tongkat kayu Palawan yang masih tersimpan di balik jaketnya. “Ia bilang, ini bisa mengalahkan kuyang.”
“Apa hanya itu yang diberikan Acil Midah?” selidik Tanti. Ia yakin, masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya. Apalagi akhir-akhir ini banyak saran agar Tanti juga membentangkan tali haduk di sekeliling rumah.
Irham berusaha menenangkan, ia rangkul bahu istrinya. “Aku nikahi kau, karena imanmu. Inilah saat-saat iman kita diuji oleh Allah,” kata Irham.
Tanti memperhatikan wajah suaminya, “Aku hanya khawatir terjadi sesuatu dengan si jabang bayi,” Tanti mngelus perutnya. “Aku juga belum cerita kalau tadi sore tak sengaja menginjak kelabang di kamar mandi. Reflek aku terkejut lantas membunuhnya dengan sapu lantai,” kata Tanti menceritakan akibat dari perbuatannya itu. Sejak masih remaja, Tanti sering mendengar cerita bahwa orang hamil tidak boleh membunuh binatang atau mengucapkan kat-kata yang tidak baik. Biasanya perbutan itu kan berimbas dengan keselamatan si jabang bayi.
“Lupakan saja tentang itu. Yang aku khawatirkan justru kau terkejut dan terpleset. Itu kan membahayakan jabang bayi dan juga dirimu,” jawab suaminya. “Besok aku akan menutup saluran pembuangan air dengan kawat nyamuk. Sekarang kita tidur saja.”
Dibantu suaminya, perlahan Tanti merebahkan tubuhnya ke kasur. Detik demi detik terus berjalan. Tanti belum juga bisa memejamkan matanya. Ia menoleh ke samping, suaminya sudah terlelap. Tanti membenahi selimutnya hingga menutupi bagian leher. Lolongan anjing itu mulai lagi. Meski jauh, Tanti bisa mendengarnya dengan jelas. Juga cericit burung di malam hari. Ia pernah melihat burung itu ketika di jalanan gelap. Saat itu ia bersama suaminya pulang dari dokter praktik. Mata burung itu sangat tajam, seperti mata kucing ketika terkena sinar lampu. Banyak orang mengatakan, burung itu hanya bisa ditemui saat malam tiba. Ia akan bersuara jika sedang melihat seseorang. Tanti masih belum bisa memejamkan matanya. Suara burung itu juga belum berhenti. Longlongan anjing terdengar semakin memanjang. Rasa takut itu datang lagi. Bagaimana jika diluar sana ada seseorang yang mengintai bakal lahirnya si jabang bayi?
Apa boleh buat, Tanti membangunkan suaminya. Tapi bukan karena takut, perutnya semakin bertambah sakit. “Sakit sekali,” rintih Tanti dengan mulut yang meringis.
“Apa mungkin malam ini?” Irham mengira-ngira.
Tanti mencengkram tepi ranjang. Irham kemudian beranjak keluar, tapi Tanti mencengkram pergelangan tangan tangannya. “Mau kemana? Aku takut kalau kau tinggal sendiri?”
“Aku siapkan sepeda motor dan kita pergi ke rumah sakit,” jawab Irham panik.
“Aku tidak kuat lagi. Kau panggil saja bidan kampung.”
Irham berusaha mengingat bidan kampung yang dimaksud istrinya, “Masitah yang rumahnya di ujung jalan itu?”
“Siapa lagi kalau bukan dia!” bentak Tanti tidak tahan merasakan sakit yang melilit.
Irham langsung mengambil jaket. Sambil melangkahkan kakinya, Irham teringat dengan benang hitam yang diberikan Acil Midah. Ia merogoh kantong celana. Ada perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Irham mulai mengkhawatirkan istri dan si jabang bayi. Bagaimana jika kuyang datang malam ini? Sebenarnya masih ada waktu bagi Irham untuk mengikuti perintah Acil Midah. Apa susahnya sekedar mengikatkan benang ke jempol kaki istrinya? Toh, tadi istrinya juga menginginkan benang itu. Sungguh, Irham tidak tega melihat wajah istrinya yang diliputi rasa sakit dan ketakutan. Tapi Irham ragu melakukannya. Bagaimana jika malam ini adalah terakhir kali ia bersama istrinya?

***
Mobil ambulan itu belum juga datang. Irham terus memohon keselamatan kepada Allah. Tadi, Masitah si bidan kampung itu mengatakan bahwa istrinya mengalami pendarahan. Irham langsung menghubungi rumah sakit untuk segera datang menjemput istrinya.
“Sebaiknya kau tunggu di luar. Sediakan air hangat dalam baskom untuk membersihkan tanganku ini. Kau lihat, banyak sekali darahnya. Coba kau usahakan cari pinjaman mobil. Aku khawatir ambulan datang terlambat. Sambil menunggu, aku akan berusaha menghentikan pendarahan istrimu,” ucap Masitah.
Irham tidak tega meninggalkan istrinya sendirian, tapi bidan kampuyng itu benar. Kenapa sejak tadi aia tidak memikirkannya? Irham benar-benar panik, kalut dan bingung. Apalagi mendadak seperti ini. Ia segera pergi untuk mencari pinjaman mobil. Di dalam kamar, Masitah melanjutkan pekerjaannya.
“Bodoh!” ucap Masitah dengan senyum yang menyeringai. Ia pandangi Tanti yang masih berjuang menahan rasa sakit. Masitah menghirup napas dalam-dalam. Ia resapi aroma wangi yang menyeruap dari darah yang kental melekat di jari tangannya. Masitah menjulurkan lidah, ia jilati darah itu hingga habis.
Tanti ngeri melihat ulah Masitah. “Apa yang kau lakukan?”
“Sebentar lagi kau akan tahu,” jawab Masitah dengan senyum yang mengerikan.
Tanti berusaha menyandarkan tubuhnya ke didnding, menjauhi Masitah yang mulai memegangi kakinya.
“Jangan takut, aku justru akan membantu menghilangkan rasa sakitmu itu,” pinta Masitah.
“Jangann…jangannn!” teriak Tanti meraih bantal dan melemparkannya ke wajah masitah. Tanti juga melemparkan tasbih yang ia temukan di bawah bantal.
 Masitah mengerang kesakitan ketika tasbih itu mengenai wajahnya. “Kurang ajar, kau belum tahu siapa aku sebenarnya.” Masitah mengolesi lehernya dengan minyak yang ia bawa. Tanti histeris melihat leher itu bisa memisah dari badan Masitah.
“Tolong, tolongg, Irhammm, Irhammm!” Teriak Tanti sekuaat tenaga.
Di luar, orang-orang terbangun mendengar teriakan Tanti. Irham datang bersama mobil yang ia pinjam. Irham tergesa-gesa, ia hempaskan pintu mobil dengan keras. Suara pintu itu terdengar hingga ke dalam rumah dan mengejutkan Masitah yang telah berubah menjadi kuyang. Kepalanya terbang mengitari seisi kamar. Ia menyadari kehadiran seseorang di luar sana. Irham gagal membuka pintu rumah, padahal tadi ia tidak menguncinya, bahkan pintu rumah itu dibiarkan tetap terbuka.
“Tolonnngg, tolonggg. Ada kuyang, ada kuyang!” teriak Tanti
Orang-orang tekejut mendengar teriakan itu. Irham mengambil ancang-ancang dan mendobrak pintu rumahnya dari luar. Pintu itu terhempas dan membentur ke dinding dengan sangat keras. Orang-orang di luar sana sudah berkumpul dan memberikan bantuan kepada Irham.
“Hei, kuyang. Jangan ganggu sitriku!” bentak Irham. “Di mana Masitah?” Irham belum mengenali siapa kuyang sebenarnya. “Masitah, Masitah…,” teriak Irham.
Kuyang itu meringis. Rambut panjangnya terurai ke depan. Orang-orang ngeri melihat sosok kuyang itu. Baru pertama kali ini mereka menyaksikannya langsung. Saat kepala kuyang itu terbang mendekati Tanti, keberaniannya timbul untuk meraih usus yang berseliweran di atas wajahnya. Sambil berteriak, Tanti menariknya sekuat tenaga. Kuyang itu jatuh terjerembab. Orang-orang segera meringkusnya.
“Periksa semua bagian rumah ini, cari tubuhnya!” teriak mereka. Orang-orang kemudian mencari tubuh kuyang itu. Akhirnya mereka temukan di dalam lemari pakaian.
“Aku takut,” Tanti menangis dalam pelukan Irham.
“Sudahlah, kita ke rumah sakit sekarang,” Irham membopong istrinya. Mobil yang mereka tumpangi segera menuju rumah sakit. Diperjalanan, Irham merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan benang hitam dan membuangnya ke jalan.


*Ditulis oleh : Harie Insani Putra

Sumber tulisan : Buku “Jempol Kaki Ibu ada di Televisi” sebuah kumpulan Cerita Pendek karya Harie Insani Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar